8

2K 254 1
                                    

Aku melajukan mobil dengan kecepatan rendah, melewati jajaran toko di sepanjang jalan. Mataku sesekali memperhatikan toko-toko itu, berusaha menebak apa yang mereka jual melalui plang ataupun dinding kacanya yang tembus pandang. Walaupun sebenarnya cukup sulit untuk mengetahui jenis-jenis toko tersebut, karena semuanya hampir terlihat sama; dengan dekorasi natal yang bernuansa merah dan hijau. Sampai akhirnya perhatianku tersita pada sebuah toko yang sangat familiar bagiku.

Setelah memarkirkan mobil dipinggir jalan, aku pun memakai mantelku dan keluar dari mobil. Mataku memperhatikan desain interior toko itu. Warna kuning yang mendominasi tembok terlihat begitu kontras dengan pencahayaan dan dekorasi natal yang tidak terlalu mencolok.

Ini adalah restoran favorit Mark. Ia selalu mengajakku untuk makan disini ketika kami masih duduk di bangku kuliah bahkan hingga saat ini. Namun karena kesibukan masing-masing, kami tidak bisa rutin makan di tempat ini lagi.

"Selamat datang."

Aku tersenyum dan menatap Chenle penuh kerinduan. Tapi lelaki itu malah menatapku bingung.

Hey, apakah dia sudah melupakanku?

Padahal baru tiga minggu yang lalu aku berkunjung kesini. Aku hendak membenarkan posisi rambutku yang siapa tau menghalangi wajahku ketika tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu di dekat telingaku. Betapa bodohnya aku ketika baru menyadari jika saat ini aku tengah mengenakan masker. Pasti benda itulah yang membuat Chenle tidak mengenaliku. Dengan segera aku pun melepaskan masker yang tadi kugunakan.

"Kak Haechan!" pekik Chenle dengan suara nyaringnya. "Selamat natal!" Lelaki itu membungkukkan badannya, membuatku turut mengikuti perlakuannya tersebut. "Kau sendirian?" tanyanya kemudian.

Aku mengangguk sambil tersenyum simpul. "Dia sedang ke luar negeri, aku baru saja mengantarnya ke bandara."

"Zhong Chenle! Apakah kau akan membiarkan Haechan berdiri di kasir?" seru seorang lelaki yang tengah membersihkan meja di sudut ruangan. Namanya Jisung, Park Jisung. Dia adalah sepupu Chenle. Kalau tidak salah mereka hanya selisih satu tahun, sehingga perbedaan antara mereka tidak terlalu nampak. Mark lah yang memperkenalkanku pada mereka.

"Aku terlalu senang hingga lupa mempersilahkanmu untuk duduk," kata Chenle salah tingkah. "Kalau begitu, silahkan duduk. Sebelumnya, apa kau ingin memesan sesuatu?"

Aku terdiam. Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk makan saat ini, karena alasanku masuk ke toko ini adalah Mark. "Sepertinya sup ayam dapat menghangatkan tubuhku," kataku akhirnya.

🍁

×

🍁

"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanyaku pada Chenle setelah menelan sesendok sup ayam yang besar enak.

Bukannya menjawab, lelaki itu malah menghela napasnya berat.

"Apa ada masalah?" tanyaku lagi.

Chenle menggeleng pelan. "Tidak. Hanya saja Jisung terlibat perkelahian dengan temannya.

"Bagaimana bisa?! Jisung bukanlah tipe seperti itu. "

"Temannya mengataiku anak yang tidak diinginkan. Ia juga mengatakan jika aku menghidupi diri dengan menjadi lelaki bayaran. Jisung mendengarnya dan ia langsung memukul temannya itu," jawabnya pelan.

Aku menatap matanya yang berkaca-kaca. "Lalu bagaimana tindak lanjutnya?"

"Aku tidak tau," Tangannya menghapus air mata yang berhasil jatuh di pipinya. "Jisung tidak pernah mau memberitahuku. Dia egois!"

Mataku melirik Jisung yang ternyata tengah menatap juga ke arah kami. Ia terlihat begitu merasa bersalah pada sepupunya itu. Namun ketika pandangan kami bertemu, ia buru-buru mengalihkannya.

Aku menghela napasku pelan sebelum akhirnya mengusap kepala Chenle pelan. "Bukankah Jisung selalu memberitahumu ketika hendak ujian?"

Chenle memutar bola matanya malas. "Tapi kenapa dia tidak pernah mau memberitahuku apa yang terjadi pada dirinya?!" rengeknya membuatku tersenyum.

"Aku kira kau sudah mengetahui jawaban untuk pertanyaan itu. Kau terlalu pintar untuk bertanya seperti itu," ujarku lembut. "Chenle, terkadang seseorang lebih suka memendam masalahnya sendiri karena ia tidak mau orang di sekitarnya khawatir. Bagi sebagian orang berbagi masalah itu melegakan, tapi pada sebagiannya lagi berbagi itu terasa seperti beban."

"Aku selalu bersedia mendengarkan keluhannya. Setiap pulang sekolah aku selalu menunggunya untuk bercerita mengenai kesehariannya, tapi ia selalu diam dan membiarkanku untuk bercerita. Bukankah itu tidak adil? Dia mengetahui segalanya tentangku tapi aku sebaliknya!"

Mulutku sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu, ketika tiba-tiba ponselku bergetar. Mataku membola ketika membaca pesan dari Jaemin jika ia sudah di taksi menuju apartemenku. Bukankah kata Mark si pendusta itu akan kembali besok?

Setelah berpamitan pada Chenle, aku pun berjalan keluar toko. Aku memberi isyarat pada Jisung untuk mengikutiku ke luar toko dengan gerakan kepala.

"Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah ini," kataku pada Jisung ketika kami sudah berada di depan mobilku. Aku merogoh saku mantelku, mengambil sebuah brosur dan memberikannya pada Jisung. "Ini adalah beasiswa kedokteran di Inggris. Kalian berdua memiliki kesempatan untuk mewujudkan mimpi kalian disana."

Jisung terlihat berpikir sambil meneliti brosur yang kini berada di genggamannya. Tak lama, ia pun membungkukkan badannya, "Terima kasih banyak kak."

Aku tersenyum dan mengangguk kecil. "Baiklah. Kalai begitu aku harus segera kembali, sampai jumpa!"

🍁

×

🍁

TBC
Ini aku update banyak wkwkw, soalnya udh beres ceritanya. Jadi ya aku tinggal pub pub aja 😂

The Wishing Tree | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang