Sosok Mereka

689 126 8
                                    


-Zweitson

Vibes sekolah gue sedikit membaik hari ini. Setelah hubungan gue dan ortu yang udah membaik, gue juga ngerasain rasa yang beda sama Aji dan Fiki. Beberapa tahun kita temenan, baru kemarin gue nangis kejer di depan mereka, baru kemarin juga mereka tau tentang keganjalan gue dan ortu dan bahkan mereka yang bantu gue.

Sekarang, gue bener-bener tambah semangat sekolah dan eskul foga. Semua gue lakuin buat orang-orang di sekitar gue yang nyatanya sepeduli itu sama gue.

"Sumringah banget tu muka," ledek Aji sambil merangkul gue. Gue menundukkan wajah gue karena Fiki udah nyenggol nyenggol lengan gue.

"Makasi yaa, lo semua nggak pernah ninggalin gue," kata gue yang berhasil membuat Aji dan Fiki bertatap tatapan.

"Nggak ada alesan juga gue ninggalin lo, Son," kata Fiki yang diangguki oleh Aji. Gue senyum, dan sekali lagi bilang makasi sama mereka.

"Yang penting lo mau berubah jadi lebih terbuka hati dan pikiran lo, di sini gue juga belum baik banget, tapi di sini kita sama sama belajar, Son, saling ngingetin dan ngejaga aja," kata Aji. Lagi-lagi gue menundukkan wajah gue saking malu dan senengnya.

Hal sekecil ini; sahabat. Ternyata orang yang nyatanya sepengaruh dan sepengertian itu sama hidup gue. Parah, kemana aja gue selama ini?

Sembunyi. Sembunyi di balik pikiran negatif gue tentang semua orang yang nggak pernah peduli sama lingkungannya.

Kami bertiga sekarang udah sampe di depan gerbang sekolah. Biasanya kamu berdiri aja di depan rambu 'bus stop' di depan sekolah sampe ada angkot yang dateng.

Tin Tin/ klakson mobil yang gue kenali minggir menghampiri gue, Aji, dan Fiki.

Fiki berbisik, "Bukannya mobil Bang Fenly?" gue menoleh ke arah Fiki dan mengangguk. Biasanya, Bang Fenly bakal ngabarin dulu sebelum jemput. Lagian Bang Fenly jam segini masih di kampus pasti. Nggak lama, akhirnya kaca mobil itu terbuka.

"Mamah...Papah..." lirih gue dengan wajah terkejut nggak karuan.

Gue mengusap wajah gue buat memastikan kalau gue beneran ngeliat mamah dan papah.

Tapi nyata. Ini bener mamah papah.

"Soni!!" kata mamah yang udah keluar dari mobil. Gue senyum dan mengalihkan pandangan kepada Papah yang juga senyum bangga di depan pintu mobil.

"Mamah, Soni kangen," kata gue sambil menghamburkan diri ke pelukan mamah. Pelukan ini, bahkan nggak bisa gue rasain semenjak umur gue lima tahun.

"Mamah kok tiba-tiba mah?" tanya gue setelah melepas pelukan mamah. Mamah hanya mengangguk dan masih mengusap lembut wajah gue.

"Kita pulang dulu, Son, Tante kamu udah masak banyak," kata mamah dengan air mata yang udah menggenang di kelopak matanya. Gue hanya mengangguk dan nggak lupa menoleh ke samping; Aji dan Fiki.

Mendadak gue nahan tawa karena komuk keduanya yang nahan nangis.

"Ayo Aji, Fiki, kalian ikut ya," kata mamah gue sebelum memasuki mobil. Keduanya hanya mengangguk sambil berusaha menahan genangan air mata.

Gue terkekeh, "Nangis lo berdua?" bisik gue yang langsung dihadiahi pukulan dari Fiki.

-Fajri

Seneng banget nggak sih lo? Lo jadi perantara hubungan baik sahabat lo dan orangtua nya. Apalagi waktu semua yang lo anggap bakal berakhir buruk, ternyata malah berakhir baik dalam waktu singkat gini.

Gue sama Fiki sekarang berada di dalem mobil nya Bang Fenly yang sedang dikendarai oleh papah nya Soni. Mamah Soni di samping kemudi, keliatan wajah senangnya bisa ketemu dan mungkin ngerasain yang beda dari anak satu satu nya itu.

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang