Keresahan Fiki

616 108 25
                                    

-Fiki

Hari ini gantian gue yang sekolah. Sepanjang perjalanan menuju sekolah sampai bel masuk, gue nggak berhenti nyeritain tentang keputusan Aji ke Soni. Dan gue kaget banget dong ketika ternyata Soni udah tau tentang ini semua, dan ternyata kemarin Aji udah ceritain semua ke Soni.

Gue menghela nafas, "Aji aja nggak pernah cerita ke gue, Son,"

"Yah lu nya aja nggak pandai mancing Aji, lo pasti nunggu Aji sampe dia siap cerita, padahal Aji kalau digituin nggak bakal siap cerita, Fik,"

Soni menjawab dengan entengnya dengan komik yang bertengger pas di tangannya.

"Tapi syukur deh, kalau Aji udah bisa buat keputusan, apapun resikonya, kan emang setiap pilihan ada resiko masing-masing ya, Son?"

"Hmm,"

Gue mengangguk, menyadari kalau tentang Aji udah selesai. Tinggal nanti gimana Aji ngejalanin ini semua. Kalau soal Soni, gue yakin setelah kepergian mamah nya dia jadi anak yang lebih kuat. Anak yang lebih rajin. Dan pastinya lebih menghargai seseuatu yang dia punya sekarang. Lalu, gimana dengan gue?

"Pagi, Soni, Fiki!"

Gue tersentak ketika ada gebrakan meja. Ah, ternyata Icha. "Hai, Cha," gue membalas sapaan Icha. Soni pun terlihat langsung menutup komiknya dan tersenyum sumringah ke arah Icha. Wah, ada yang gue lewatin. Nggak biasanya Icha nyamperin gue sama Soni gini.

Masih gue liatin aja keduanya melempar pertanyaan dan candaan. Beneran jadi nyamuk gue.

"Tumben kalian berdua, kayanya gue ketinggalan berita nih, Son," kata gue sambil melirik jahil ke arah Soni.

Soni lantas memukul lengan gue, "Jangan ngaco pikiran lo! Icha cuma mau gabung sama kita kok, Aji udah tau dia nggak cerita samaa lo?"

Gue langsung kicep. Ha? Kenapa tiba-tiba gitu Icha gabung?

"Tunggu, jadi lo maen sama kita nih, Cha?" tanya gue. Icha pun langsung mengangguk mantap.

"Nggak apa-apa kan?" tanya Icha. Gue masih bengong, sampe akhirnya Soni nyenggol lengan gue dan matanya melotot seakan mengisyaratkan sesuatu. Bukannya nggak boleh, cuma heran aja kenapa nggak sama cewe yang lain dan kenapa nggak dari dulu kalau emang beneran mau gabung. Icha tu feminim banget loh, ngeri gue.

"Iyy-yaa nggak apa-apa dong, Cha," kata gue semangat.

"Aaaa makaasihh, Fik!" kata Icha nggak kalah semangat.

"Yaudah kantin yuk, lo nggak boleh telat makan ya , Cha!" kata Soni. Icha pun menaruh telapak tangannya di pelipis membentuk sikap hormat.

"Yaudah yuk, Fik," ajak Soni menyadarkan gue yang masih bingung banget. Ini Soni perhatian banget sama Icha.

Gue langsung beranjak mengikuti Soni dan Icha yang berjalan duluan di depan gue. Namun, tiba-tiba Soni memelankan langkahnya jadi sejajar sama gue.

"Nggak usah mikir yang macem-macem, tugas lo cuma nerima Icha dan buat dia bahagia," bisik Soni.

Ha? Apasih? Gue menatap Soni bingung.

"Dia di vonis tiga bulan lagi....pergi,"

-Zweitson

Seperti biasa, gue akan nunggu Icha sampai di jemput di depan halte sekolah. Dan sekarang tinggal gue sama Fiki yanh sedang menunggu angkot. Fiki kelihatan resah bolak-balik melihat angkot yang tak kunjung datang.

Gue yang sedang membaca komik pun memberhentikan kegiatan gue. Fiki nganggu banget.

"Duduk kenapa sih, Fik? resah banget,"

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang