Hujan di Awal Bulan Terakhir

551 106 28
                                    


-Fajri

Hujan turun cukup deras siang ini. Gue lagi ada di kamar ibu untuk menjaga nya. Gue mengibas tirai kamar yang menampilkan jendela penuh embun akibat hujan yang deras. Gue menoleh ke arah ibu yang wajahnya sama khawatirnya sama gue.

Fiki pasti lagi di jalan jam segini, dia juga nggak bawa payung. Kalaupun Soni bawa payung, pasti nggak muat kalau harus berdua.

"Ji, kamu nggak apa-apa kalau harus jemput Fiki di gapura?" tanya ibu. Gue berjalan ke arahnya. Sejak tadi, gue udah bilang sama ibu kalau gue mau nunggu Fiki di gapura komplek. Namun, gue khawatir sama ibu yang sendirian di rumah.

"Ibu, Aji yang harusnya nanya, ibu nggak apa-apa kalau Aji tinggal?"

Ibu tersenyum dan menggeleng, "Kamu hati-hati, jemput adek kamu, Ji, ibu khawatir hujannya deras banget soalnya,"

Gue pun menurut. Nggak bisa dipungkiri gue juga khawatir sama Fiki. Gue pun menyalimi tangan ibu dan langsung memakai jas hujan serta payung yang cukup besar.

Gue menyusuri hujan yang deras. Sesekali ada kilat dan petir yang buat gue harus merengkuh tubuh gue. Di saat hujan gini, rasanya sejuk banget. Hujan deras kayak gini mengingatkan gue tentang segala takdir hidup.

Air hujan itu segala takdir hidup, dan aspal ini kita sebagai manusia. Manusia harus bisa menerima segala baik buruk takdir hidupnya. Manusia harus siap menerima mimpi nya yang dipupuskan oleh takdir hidupnya. Aspal ini harus menerima jatuhnya ribuan air ke permukaannya. Sayang aja aspal nggak bisa berteriak, coba kalau bisa. Serem lah anjir hahaah.

Tanpa gue sadar karena terlalu sibuk memikirkan aspal dan hujan, gue pun sampai di gapura. Cukup ramai orang yang berteduh di sini. Gue melipat payung dan membuka jas hujan gue. Setelah itu, gue sedikit menyipitkan mata untuk mencari keberadaan Fiki dan Soni. Dan akhirnya, dapat! Aji emang jeli banget nih matanya.

Gue pun menghampiri keduanya. Namun, saat jarak gue tinggal tiga langkah gue mendengar Fiki dan Soni sedang membicarakan sesuatu.

"Lo benci sama semua apa yang Aji bisa dan lo nggak bisa?" tanya Soni.

Gue tersentak. Langkah gue terhenti, dan tubuh gue menegang. Ini gue nggak salah denger? Nggak lama, gue perhatikan lagi. Fiki mengangguk dong!

Gue pun langsung mencari tempat yang agak tersembunyi untuk menguping pembicaraan mereka.

"Fiki kecil selalu nangis dipelukkan ibunya karena almarhum ayah yang selalu bilang jangan mau kalah sama abang mu, selalu kata itu yang keluar ketika gue nangis atau lagi dibandingin, keluarga ayah juga selalu mengungguli aji,"

Gue lagi-lagi tersentak. Ternyata, selama ini Fiki punya beban atas abangnya sendiri. Gue tahu dulu emang Fiki cengeng banget waktu kecil, tapi gue nggak sadar kalau itu semua karena gue. Fiki nggak nyaman atas segala tentang gue.

Gue masih mendengarkan Soni dan Fiki berbicara sampai keduanya berbalik dan mulai berjalan karena hujan udah mulai reda. Gue pun langsung mengikuti mereka. Gue memanggil mereka.

Dan seketika Fiki berbalik, gue langsung meluk dia.

Gue merasakan kehangatan saat meluk Fiki. Semua suasana dingin selepas hujan nggak terasa di kulit gue. Gue memeluk Fiki yang juga membalas pelukan gue. Kami saling diem-dieman di pelukan itu. Hanya penyesalan yang ada dalam diri gue.

Lalu nggak lama, Soni mengusap bahu gue dan Fiki. Gue melepaskan pelukan gue dan memegang kedua bahu Fiki. Gue tatap wajahnya yang nunduk, dan mulai memerah. 

"Fiki, maafin gue," kata gue lirih. Fiki mulai mengangkat wajahnya dengan mata yang udah berkaca-kaca.

"Gue yang minta maaf, Ji, gue udah benci sama lo," kata Fiki. Gue menggeleng, "Lo benci karena gue, gue nggak bakal kejar semua prestasi gue saat ini kalau ternyata ada orang yang terbebani dengan semua itu,"

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang