Suara Marisha

448 103 14
                                    


-Marisha

Malam malam ini gue terbangun saat gue rasakan nyeri hebat di bagian perut sebelah kanan atas. Tak hanya itu saja, perut gue juga terasa mual tetapi saat gue ke wastafel tak ada satu pun cairan yang keluar dari mulut.

Seperti biasa, keadaan ini sudah biasa terjadi dan gue langsung merangkak dari wastafel menuju nakas samping tempat tidur untuk mengambil obat. Perut gue nyeri banget ah, sumpah, rasanya kayak dililit ribuan tali. Gila, memang kalau sudah kambuh sesekakit ini. Bahkan penyebab gue pingsan waktu ldks pun karena gue nggak bisa nahan sakit ini.

Gejala kanker hati, yang udah gue alami sejak usia gue masih dua belas tahun. Dan selalu kambuh di waktu yang nggak tentu ngebuat gue kesiksa banget.

Setelah gue dapet obat, gue mulai mengambil gelas air putih yang selalu gue sediakan di atas nakas. Gue meneguk nya dengan ganas dan setelahnya gue kembali memegangi perut gue. Keringet udah nggak berenti ngucur di pelipis gue. Ac yang tadinya terlalu nyaman gue rasakan, menjadi nggak ada rasa apa-apa. Kamar gue seketika sesak.

Di tengah itu gue melirik jam dinding. Pukul 02.00!! Gimana bisa gue ganggu mama dan papa yang lagi tidur pulas. Alhasil gue kembali merangkak ke kasur dan meringkuk seperti janin. Mata gue terpejam mencoba menahan segala rasa sakitnya. Gila! Ini nggak bakal berhenti kalau gue nggak ke rumah sakit. Tapi gue masih ada harapan untuk mengurangi rasa sakitnya karena obat yang gue minum.

Waktu terus berjalan. Gue ketiduran dan bangung dengan keadaan perut gue masih sakit. Suara adzan berkumandang membangunkan gue, pertanda waktu sudah memasuki pukul setengah lima. Mungkin mama papa juga udah bangun. Dengan langkah perlahan, gue mulai keluar kamar menuju dapur. Biasanya mama lagi di dapur pagi pagi begini.

"M-maaa, hhhh," panggil gue sambil ngos ngosan.

Mama yang kelihatannya lagi membuat sarapan, beralih menatap gue dan menangkup wajah gue yang udah kacau banget. Mata mama menyuratkan rasa khawatirnya.

"Kenapa sayang? Kenapa, kambuh lagi?" pertanyaan retoris dari mama. Udah tau anaknya kacau banget begini ma...

Gue hanya mengangguk lemah, lalu setelahnya mama langsung membawa gue kepelukannya. Berkali-kali dia mengecup puncak kepala gue dan menghapus air mata gue yang keluar dengan sendirinya. Nggak tau, gue sedih, sakit juga.

"Papa!!! Pa!!" panggil mama.

Setelah beberapa kali mamah memanggul papap, gue denger suara papa yang khawatir mulai mendekat dan mengambil alih tubuh gue. Mata gue mulai sayu, dan samar melihat wajah kedua orangtua gue yang khawatir. Gue rasa perut gue kembali melilit saat papa mulai menggendong gue menuju mobil. Kayanya gue bakal di bawa ke rumah sakit.

Ya Tuhan, semoga semuanya belum berakhir saat ini. Pikiran gue kacau, antara semuanya rasa sakit dan semua orang yang berarti di hidup gue. Gue masih bisa denger papa dan mama yang nggak berhenti menanyakan keadaan gue dan hanya gue jawab dengan anggukan lemah.

Mobil mulai berjalan, dan gue udah berbaring dengan kepala berada di paha mama sebagai bantalan. Perlahan, beriringan dengan mobil yang jalan menuju rumah sakit, bisa gue rasakan napas gue mulai teratur. Perut gue masih sakit, tapi sedikit bisa gue tahan. Mungkin masih ada efek obat yang semalem gue minum.

Gue masih berusaha mengelap keringet yang udah membanjiri wajah gue. Mata gue terbuka sempurna, saat gue melihat seseorang berpakaian serba hitam di depan gue. Dia mendekat, gue nggak bisa berkata apa-apa, lidah gue kelu. Pergerakan gue serasa di slow mo. Gue memeluk erat tangan mama, ketika sosok itu terus dan terus lebih mendekati gue.

Sampai akhirnya, semua terasa gelap dan berhenti begitu saja.

---

Gue memasuki rumah yang selama tujuh belas tahun menjadi tempat gue tumbuh. Di sana terdapat banyak orang dari keluarga gue, bahkan temen sekelas gue pun ada. Mereka yang sebelum ini nggak pernah bermain sama gue, sekarang seakan meminta gue untuk kembali. Di saja juga nampak mama yang nggak henti hentinya memeluk gue dengan ayah yang menenangkannya.

Gue meringis melihat kesedihan itu. Suasana hangat pun mulai menyelimut sekitaran gue, mungkin karena mama yang nggak hantinya memeluk gue. Ya ampun ma, jangan nangis gitu dong, Icha juga sedih.

Oh ya, jangan lupakan juga di sana ada Aji, Fiki, dan Soni. Ketiganya nggak beda dari yang lain, matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah gue. Gue yang melihat itu meringis lagi, kalian nggak akan tau guys kalau gue juga lebih sedih di sini. Gue sedih nggak bisa main lagi sama kalian, bahkan di saat terakhir gue pun nggak bisa melihat wajah kalian. Padahal banyak banget kata makasih yang mau gue sampein.

Gue tau, semua rasa sedih dan ucapan gue ke kalian nggak mungkin kalian dengar saat ini. Tapi gue berharap banget kalian bisa ngerasain ini. Fiki, Kak Aji, Soni, gue harap kalian tetap berlibur ke Bandung. Bahkan untuk itu kalian nggak perlu minta izin ke ortu gue, karena gue bebas akan ikut kalian. Buat semua kenangan yang singkat, terimakasih udah mau jadi bagian dari hidup gue. Terimakasih udah mau temanan sama gue walau akhirnya kalian tau dalam waktu cepat gue akan ninggalin kalian.

Gue akui, banyak lalu lalang orang yang singgah di hidup gue. Tapi cuma kalian yang bisa buat gue nyaman dan mau berlama lama main sama kalian. Ketawa kalian, cara kalian berteman dan peduli satu sama lain nggak akan buat gue berpaling dan lupain semuanya. Kalian terlalu indah untuk gue jadiin detik detik terakhir kisah di hidup gue. Tapi mau gimana lagi, memang gue terlalu banyak berpikir untuk bisa mendekati kalian. Sampe suatu saat gue divonis sama dokter, lalu setelahnya gue nekad dan gue rasa ini harus.

Terkesan memanfaatkan emang, tapi kalau bisa milih gue juga nggak mau pergi di saat gue udah nyaman banget sama kalian. Percayalah, bahkan teman orok gue pun nggak bisa sememuaskan itu. Ya, gue nggak bermaksud membandingkan, gue ngerti setiap orang beda-beda. Tapi ya intinya gue sayang kalian huhuhu. Plis, kalian jangan nangis. Gue sedih banget asli.

Maaf juga ya, kalau gue cuma hadir dengan membawa kesedihan. Maaf juga kalau bikin kaget. Tapi gue yakin kalian pasti mengerti ini. Hidup emang semengejutkan itu, brou.

Gue sayang kalian, semua orang yang pernah hadir dan menjadi bagian dari pelajaran hidup gue. Mama, papa, nyatanya Icha yang harus pergi duluan dan ngeliat kalian nangis. Padahal Icha belum sepenuhnya bahagiain kalian. Temen temen gue dari orok sampe gue udah segede ini, gue pamit dulu setelah kata pamit yang dulu mungkin pernah terucap. Tapi kali ini lebih abadi. Dan terakhir, Kak Aji, Soni, Fiki, gue pulang setelah apa yang kita lalui emang terlalu indah untuk gue tinggali. Terus jadi diri kalian semua yang gue kenal.

Gue pergi dulu, semoga apapun kisah hidup kalian, kalian tetap bisa kuat. Dadah, gue tunggu di surga.

°•°•Tbc•°•°
semogaa selalu sukaa yaa sama kejutan di setiap partnya!! makasi semua yang udah vote dan comment, lanjutkan yes wkwkwk.
Lop u💜💙

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang