Akan Rumpang

476 96 47
                                    

-Fajri

Mata gue menyipit dan mengerjap berkali-kali kala gue rasa ada cahaya yang menggangu tidur gue. Gue liat siluet seseorang di dekat jendela lagi menyibak gorden yang menyebabkan cahaya matahari memenuhi kamar gue.

Perlahan gue meregangkan tubuh dan menduduki diri. Gue mengucek mata untuk memperjelas penglihatan. Oh, Fiki ternyata.

"Tumben lo udah bangun." kata gue dengan suara bangun tidur.

Fiki menghampiri lemari nya sambil tersenyum. "Besok kan gue berangkat, Ji. Ini gue mau packing."

Gue membulatkan mata, baru sadar kalau hari ini hari terakhir Fiki dan Ibu di rumah. Ya ampun, cepet banget! Ya, akhirnya gini guys, dengan semua pertimbangan akhirnya ibu ngizinin Fiki buat ikut dan pindah sekolah ke Aceh. Sedangkan gue, nanti akan nge kos di Depok biar lebih dekat ke kampus dan nggak ngerasa sepi juga di rumah segede ini. Lalu, rumah ini...

...Hh, rumah ini akan dititip sih, ke mamah nya Bang Fenly.

"Kok cepet banget ya, Fik."

Fiki menoleh dan tertawa kecil. "Mata lo masih aja sembab, semalem nangis lagi?"

"Ck, wajar lah ya gue nangis. Mata lo nggak keliatan sembab karena udah mandi sama skincare-an aja."

Fiki tertawa lagi sambil memasukkan beberapa pakaiannya ke koper. "Ya emang gitu, Ji. Makanya mandi sono biar fresh."

Gue nggak menanggapi, gue fokus ngeliatin Fiki yang memasuki satu per satu pakaian nya ke dalam koper. Ini asli dua minggu kenapa cepet banget.

Selama dua minggu gue selalu berharap kalau kerjaan ibu dibatalin, atau ini cuma mimpi biar nanti bangun-bangun gue ternyata masih kecil dan segala yang udah gue lewatin ternyata nggak nyata. Tapi nyatanya semakin hari semakin nggak mungkin. Harus berapa hari lagi, gue mengucap doa sebelum tidur agar ini benar-benar nggak terjadi.

Bukan gue nggak terima. Tapi emang ini terlalu berat. Mulut mungkin berlagak siap dan menerima semua, tapi hati gue masih berharap bahwa semuanya nggak ada.

"Ji!"

Gue mengerjap berkali-kali saat Fiki melayangkan pakaiannya ke muka gue.

"Bengong mulu! Udah napa, ceria gitu ceria. Ini bukan akhir dari segalanya, Ji. Masih ada harapan setelahnya."

Gue menghela nafas kasar. Lalu, gue beranjak dan melempar balik pakaian yang ada di tangan gue ke Fiki. "Tau ah, nyatanya harapan malah bikin tambah nggak ikhlas."

"Yee, Aji, Ji!!"

"Mau makan gue. oiya itu hoodie lo ada di lemari gue jangan dibawa!!"

"Heh, lo mah!!"

Hhahah. Jadi, semalem gue masukin hoodie Fiki ke lemari gue. Sengaja, biar nggak dibawa dan bisa gue pake kalau gue lagi kangen. Cieelah kangen.

"Bu, udah packing?" tanya gue ke ibu yang lagi nyiapin beberapa roti di meja makan.

"Udah, Ji, tinggal beberapa barang aja. Ini kamu makan dulu, Fikinya mana?"

"Lagi packing, Bu. Biasa kelamaan nangis, udah h-1 baru packing."

Ibu tertawa kecil mendengar ucapan gue. "Kamu apa Fiki yang nangis?"

Hah. Gue mematung, lalu nyengir kuda sambil garuk rambut acak-acak an gue. "Ibu."

"Dasar." kata ibu sambil tertawa. Pipinya terangkat membentuk kerutan kecil di ujung matanya.

Nggak tau untuk berapa lama, gue nggak liat langsung ibu dengan jarak sedekat ini. Kerutan halus yang mulai muncul, rambut putih yang masih bisa terhitung, dan warna kulitnya yang kian meredup.

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang