Keputusan Fajri

635 109 18
                                    

-Zweitson

Sepulang sekolah, di halte, gue sama Aji nungguin Icha sampe jemputan nya dateng. Gue nggak ngerti kenapa Icha milih mau temenan sama gue, padahal banyak juga yang kisah pertemanannya lebih bikin salut selain pertemanan gue, Fiki, dan Aji ini yang sebenernya standar aja kok.

"Ji, ji," panggil gue ketika Aji jalan duluan setelah turun dari angkot. Aji belum cerita sama gue, lagi-lagi gue yakin karena dia nggak mau ngebebanin orang disekitarnya. Apalagi tadi ada Icha.

"Lo belum cerita lo lagi kenapa sampe dicariin gitu sama guru bk," kata gue ketika selesai mensejajarkan langkah dengan Aji. Aji juga jalannya udah agak santai.

"Iya, Son, tadi kan ada Icha, nggak enak gue,"

Gue mengerti, "Yaudah ke taman aja yuk, Ji," kata gue, mencoba mencari tempat yang nyaman buat Aji cerita.

"Fiki kasian, Son, di rumah jagain Ibu,"

Gue menghela nafas. Agak nggak enak buat nolak, tapi sekali ini aja, nggak apa-apa. Gue nggak suka liat Aji murung lagi kayak gini, "Sebentar doang, Ji"

Aji memberhentikan langkahnya, "Yaudah, sebentar,"

Akhirnya. Gue dan Aji pun memilih duduk di gazebo taman yang belum ramai. Hanya ada beberapa abang-abang jualan yang sedang rehat.

"Apapun, Ji, jangan ada yang ditutupin," gue mulai bicara.

Gue lihat Aji yang mulai mengedarkan pandangannya ke lapangan basket depan taman. "Dulu kita berempat sering banget main basket di situ, sesekali ngeledekin bang udin sampe dikejar sama dia,"

Aji terkekeh diakhir perkataannya. "Nanti kalau gue udah kuliah, lo tinggal berdua sama Fiki," Aji menoleh ke arah gue. Gue mengangguk dan tersenyum.

"Nggak apa-apa, Ji, emang udah saat nya lo lebih serius ke mimpi lo, sama kayak Bang Fenly,"

Aji mengangguk, "Son, mimpi gue atau mimpi ibu?" tanya Aji. Gue mengerutkan kening bingung. Kayaknya gue tau permasalahan Aji apa.

"Bingung kan, Son? Gue juga, Son, gue ditagih mulu sama bu Iis soal keputusan gue mau kuliah dimana, ibu mau gue stay di Indo, sedangkan gue punya mimpi besar buat kuliah di Turki, dan hebatnya, yang bikin gue makin bimbang, kesempatan beasiswa itu udah ada,"

Gue menundukkan pandangan, kasian Aji.

"Ibu nggak mau jauh dari anaknya, Son, sejak ibu ditinggal ayah untuk kedua kalinya, Ibu bener-bener takut sendiri,"

Gue semakin fokus dengern curhatan Aji. Ada satu hal yang terlewat, ibunya aji ditinggal ayah nya yang kedua kali? Ayah sambungnya Aji meninggal? atau gimana? Tapi semua pertanyaan itu cuma bersarang di pikiran gue. Sekarang tugas gue cuma jadi telinga yang baik buat segala keluh kesah nya Aji. Gue nggak berhak buat nanya masalah Ibunya.

Aji masih terus bercerita dengan tatapan kosong dan nanar. Yang gue bisa simpulin, Aji bener-bener bimbang dan tertekan sama kemauan Ibunya. Gue tau, Aji punya mimpi besar. Dia mau kuliah di Turki bukan semata-mata mau jadi pengusaha aja, gue tau Aji orangnya tu selalu kepo sama dunia yang luas ini.

Tapi menurut gue pribadi, pengalaman yang besar itu bukan tentang tempat yang jauh, tapi tentang bagaimana kita mensyukuri hal itu sih. Jadi, gue pikir kuliah di Indo juga nggak kalah banyak pengalaman besar nya.

Di sela Aji cerita, gue mengelus bahunya untuk memberikan kekuatan. Soal mimpi yang nggak sejalan sama orangtua, emang bikin labil banget sih.

"Gue nggak tahu harus gimana, Son,"

Gue berdeham waktu Aji menatap ke arah gue, "Ji, keduanya patut diperjuangin, gue sendiri nggak pernah ada di posisi lo,"

Gue merenung bingung, apa yang harus gue bilang biar Aji merasa sedikit terbantu. Sekiranya dua menit kita dieman, sampe gue inget salah-satu quotes dari Buku Bang Fenly yang nggak sengaja lembarannya kebuka waktu tuh buku ada di meja belajar Bang Fenly. Iya! Mungkin kata kata itu bisa mewakilkan pandangan gue. Seenggaknya, biar bisa jadi bahan pertimbangan buat Aji.

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang