Pelukan Untuk Soni

633 111 7
                                    


Ji, lo sama Fiki di mana? Mamah nya Soni meninggal, pliss ke rumah sekarang, Soni butuh lo sama Fiki.

-Fajri

Tepat sasaran. Pintu kamar Soni berhasil terbuka setelah gue, Fiki, dan Bang Fenly mendobraknya. Kami bertiga langsung lari ke arah Soni yang lagi duduk berlutut dan menangis sesegukan.

Ibu yang kondisinya lagi kurang baik pun, gue tinggal di rumah untuknya istirahat. Fiki yang entah kenapa tadi kaya orang kesurupan, langsung tenang setelah dapet kabar dari Bang Fenly. Semua nya pun berubah, dunia gue seakan berpusat sama kehidupan Soni sekarang.

"Son, lo udah banyak sendiri, jangan sendirian lagi di waktu kayak gini,,gue takut lo kenapa kenapa," kata Fiki sambil melepas pelukannya. Sekarang yang meluk Soni cuma Bang Fenly.

Gue menatap sendu pemandangan di depan. Soni dengan kekacauannya, dan Bang Fenly dengan wajah risau nya.

"Lo kenapa ada di sini? Daritadi kemana aja kalian??! Bener kan, udah nggak ada yang peduli..."

"Son,, udah yaa udah," Bang Fenly masih mencoba menenangkan Soni yang nyatanya makin kejer nangisnya setelah kami memasuki kamarnya.

"Son, son, nggak kayak yang lo pikirin, udah yaa sekarang tenangin diri lo dulu, kita semua selalu ada buat lo," kata gue.

"Iyaa, Son, percaya semua udah takdir Tuhan, pasti ini yang terbaik buat lo," kata Fiki.

"Ini semua pasti karena gue jauh dari orang tua gue, gue udah gagal jadi anak, gue nggak guna jadi anak,  gue nggak bisa jadi anak baik, Fik..." kata Soni dengan lirih dan disambungi dengan tangisannya.

Bang Fenly nggak henti hentinya memeluk dan mengusap kepala Soni. Gue sama Fiki berpandangan setelah mendengar lirihan Soni, seperti merasakan sesuatu energi yang sama di keadaan ini.

Dihiasi tangisan penyesalan Soni, pikiran gue kembali menjelajah ke masa di mana ayah pergi ninggalin gue, Fiki, sama Ibu karena penyakit asma yang dideritanya.

Persis kayak Soni. Emang, nggak ada yang lebih pedih, daripada kehilangan orang yang nyatanya berarti buat kita. Dan kejadian itu kini terulang lagi di hidup gue, ayah dan ibu yang cerai, dan yang paling nyata, ada di Soni.

Mungkin waktu ayah meninggal dulu, gue yang masih kecil hanya ngerasa kehilangan tanpa penyesalan. Namun, sekarang beda. Waktu tau ayah ibu cerai, gue juga ngerasa jadi anak yang jauh dari orang tuanya, gue nggak berguna, gue nggak ada di saat ibu lagi hancur hancurnya ngurusin perceraian.

Dan sekarang gue sadar, bagi sebagian orang yang sudah mengerti hidup, dalam setiap kehilangan pasti ada penyesalan.

"Son..." gue memanggil Soni, perlahan mendekatinya dan menatap matanya lekat berhasil membuat tangisannya sedikit mereda. Soni mematung menatap gue, dengan mata yang masih penuh air kayak danau.

"Nggak ada yang salah dari penyesalan, yang salah kalau lo terlalu larut di dalamnya..."

"Sekarang, lo cuma perlu lakuin gimana caranya biar penyesalan itu nggak dateng lagi di hari esok..."

"Larut dalam penyesalan nggak bikin semuanya berubah, Son, malah makin buruk,"

Gue menghela nafas sebelum melanjutkan perkataan. Mencoba mengumpulkan suasana yang dulu, biar rasanya nyampe ke Soni.

"Lo..,"

"Lo masih punya keluarga, hargai yang ada, Son, jangan sampe penyesalan dateng lagi"

Bukan, bukan gue yang ngomong, tapi Fiki. Gue menoleh ke arah Fiki yang tersenyum hangat ke arah Soni. Tapi asli, kalimatnya sama banget sama apa yang pengen gue ucapin.

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang