Hari Kacau

565 110 15
                                    

-Zweitson

Gue bener bener nggak suka suasana ini. semua orang nangis, sanak keluarga satu per satu mulai memenuhi rumah tante untuk menunggu mamah dan papah dari Malaysia.

Kanker hati?

Ah, kenapa nggak bilang dari kemarin? Parah nggak sih, semua orang udah tau soal penyakit mamah tapi kenapa gue sebagai anaknya nggak tau? Gue yang terlalu jauh dari dunia mamah atau emang mereka semua udah nggak peduli sama gue?

Gue benci sama keadaan ini! Nggak ada hal yang bisa gue lakuin selain nangis di kamar, merutuki semua orang yang tega nutupin ini semua dari gue. Merutuki diri gue yang bodoh, yang nggak pernah bisa jadi anak baik bagi orangtuanya. Anak macam apa yang nggak tau penyakit mematikan ada di tubuh mamah nya sendiri?

"Son, semua orang nanyain lo, turun yuk," kata Bang Fenly dari luar kamar gue.

Tangis gue makin pecah, "Ngapain? Ngapain nanyain gue? Semua orang nggak ada yang peduli sama gue Bang!!"

"Son, jangan gitu, semua orang punya maksud son di balik kelakuannya,"

"Kami semua, punya maksud kenapa nggak kasih tau lo soal ini, Son, lo harus ngerti Son,"

Gue cuma diem, nggak bisa ngeluarin sepatah kata pun kecuali tangisan. Kenapa gue yang harus ngerti? Kenapa kalian nyembunyiin hal sebesar ini tanpa mau ngertiin gue? Kenapa? Gue bener bener nangis. Kenapa belakangan ini hidup soni nggak adil Tuhan?!

"Aaaaaa!!!!"  gue teriak. Bener bener nggak kuat buat sekadar nangis. Dada gue makin sesak, gue ngerasa kehilangan yang sebenarnya sekarang.

Mungkin dulu kehilangan itu semu, karena raga mamah masih ada. Tapi sekarang?

Suara Bang Fenly yang panik manggil manggil nama gue di depan pintu kamar gue hiraukan. Gue benci semua orang. Gue benci diri gue.

Semua orang nggak peduli sama gue, Aji, Fiki, lo berdua dimana? Kenapa lo juga ninggalin gue? Lo nggak peduli sama gue? Kenapa rumah kalian sepi? Kalian kemana?

Gue butuh kalian.

-Fajri

Suasana pemakaman yang udah lama nggak terasa, kini kembali hangat terasa. Ibu nggak berenti nya mengusap batu nisan ayah yang udah ketutupan rumput. Wajar sih, udah lama nggak ditengokin kaya gini.

Fiki di samping ibu, udah nangis kejer dia liat ibu yang nangis. Ada kali tiga puluh menitan kita di makam tapi nggak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut gue, Fiki, ataupun Ibu kecuali tangisan yang berusaha ditahan.

Sampe akhirnya ibu berdiri, dan mengajak gue sama Fiki buat pulang. Kami berdua sama sama menuntut ibu yang masih lemas, badannya juga masih dingin. Seketika gue pegang tangan ibu buat menuntun nya jalan, tiba-tiba ibu mengusap tangan gue.

"Aji, jangan pergi ya, nak, ibu nggak mau sendirian, udah cukup ibu ditinggal ayah mu, terus om Herman, ibu nggak mau ditinggalin kalian berdua," kata ibu.

Gue membalas usapan tangan ibu, dan tersenyum. "Iya, bu, Aji nggak akan pergi,"

Gue tau arah pembicaraan ibu kemana, dia masih kekeh nggak mau gue ambil beasiswa di Turki. Tapi nggak ada salah kan, nenangin ibu saat kayak gini?

"Maafin Ibu, yang selama ini jarang punya waktu buat kalian, kemarin ibu lagi ngurus perceraian..."

Gue sama Fiki masih mendengarkan ibu yang berusaha buat bicara di sela perjalanan ke parkiran.

"Ternyata bener, nggak ada yang bisa menggantikan posisi ayah kamu di hidup ibu, atau mungkin di hidup kalian semua, ayah kamu bener bener nggak cinta sama ibu,"

#1: Jangan Anggap Tidak Ada yang Peduli [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang