Nine:: Obat

32 6 2
                                    

            Hubungan Giva dan Alffy masih berjarak. Kegiatan Alffy pun tidak bisa dielakkan. Semakin mendekati hari-H, semakin padatlah kegiatannya. Mulai dari menyusun rencana, mempersiapkan kebutuhan, dan survey.

Semakin dekat ke hari Giva akan menjalankan operasi, semakin rewel juga. Biasanya Alffy selalu ada untuk menenangkan. Namun, untuk kali ini, Alffy tidak bisa selalu ada di samping adiknya. Ratu kerap kali memohon untuk menemani Giva sekejap saja, tetapi Alffy tetap tidak bisa. Tanggung jawab sebagai pemimpin dalam kegiatan tetaplah tanggung jawab, tidak bisa dielakkan.

"Ada usulan lain?" tanya Alffy seraya memutar-mutar bolpoin.

"Kita harus ngajar di satu kampung selama satu minggu untuk mengetahui perkembangannya atau respon masyarakat di sana. Kalau mereka welcome, anak-anaknya punya semangat tinggi, kita masukkan satu ustaz untuk mengajar di sana secara tetap. Soal biaya untuk menggajinya sebisa mungkin kita yang cover. Jadi, kegiatan kita mengumpulkan dana bukan hanya sampai di sini aja, tapi sampai dalam jangka waktu yang lama."

"Ada yang lain lagi?"

"Kenapa nggak dari anggota kita aja yang ngajar secara tetap di kampung-kampung itu? Kalau dari anggota kita otomatis sedikit mengurangi pengeluaran biaya."

"Kita hanya kumpulan pelajar dan mahasiswa. Pastinya punya kegiatan masing-masing. Meluangkan waktu untuk kegiatan seperti ini saja pasti ada yang dikorbankan." Alffy membenarkan peci di kepalanya lalu menatap Afrijal. "Aku lebih setuju dengan usulan dari Ijal. Soal dana untuk gaji bisa kita cover. Kita ini pemuda yang punya banyak kreativitas. Otak kita bisa memproduksi karya-karya kan? Ayo, kita buat karya, kita jual karya itu. Kita sumbangkan untuk pendidikan calon orang besar penerus bangsa."

Diskusi mereka berlangsung selama satu jam lebih. Di sana Alffy terlihat sekali jika ingin menyelesaikan diskusi secepat mungkin. Hatinya ingin segera pulang, menemui adiknya, menemani adiknya, dan menghabiskan waktu berdua.

Ayolah... cepatkan urusan ini. Aku mau pulang.

Alffy meremas kedua tangan gelisah, sesekali meringis setelah menanggapi sesuatu.

"Oke, diskusinya cukup sampai di sini aja. Hari Rabu kita terjun langsung ke Kampung Paritim."

"Siap, Fy. Hari H yang ditunggu-tunggu."

"Gas keun!"

"Penantian banget."

Melihat respon yang semangat dari teman-temannya membuat Alffy melebarkan senyum. Semoga selamanya mereka akan tetap semangat dalam menjalani hari untuk kebaikan. "Kalau gitu aku pamit duluan. Assalamualaikum," salamnya seraya merapatkan kedua tangan di depan dada. Pemuda itu segera keluar dari kedai yang dijadikan mereka diskusi.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

*

Tepukan di bahu Fikar sedikit membuatnya menjengit. Alffy dengan tampang polosnya memamerkan deretan gigi seraya menggaruk belakang leher, seolah tak melakukan tindakan apa-apa. "Ayah jangan melamun terus," ujar pemuda itu sambil mengambil posisi duduk di samping ayahnya.

"Apa Giva akan kuat, Fy? Ada saat-saat di mana ayah pikir semuanya tidak akan berhasil."

"Ayah... jangan seperti ini." Sebenarnya Alffy pun ragu. Adiknya telah melewati beberapa operasi besar. Alffy dan keluarga berulang kali menunggu dengan tegang sambil berdoa. Dan sebentar lagi hal tersebut akan terulang kembali. "Jangan buat Giva down hanya karena kita pesimis."

Allah Sedang Mengajari Aku #FJSTheWWG ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang