"Giva sadar, Fy. Dia buka matanya. Sekarang dia mau bertemu kamu, daritadi terus manggil-manggil nama kamu. Hari ini bisa pulang, kan?"
Bahagia memenuhi rongga dada. Rasa paling menyesakkan selama ini meluap begitu saja. "Bisa, Bunda," jawabnya tanpa berpikir panjang. Alffy bersyukur karena kerjanya bagian malam, sehingga detik ini juga bisa pulang.
Ketika Alffy sibuk membereskan beberapa barang ke dalam tas, tiba-tiba teringat sedekat apa dia sama adiknya. Giva tidak akan semudah itu menerima jarak yang sekarang. Kegiatannya terhenti dan mengambil posisi duduk di tepi tempat tidur. Kiranya apa alasan yang tepat ketika sore nanti Alffy harus kembali lagi ke Cikarang.
Di situasi seperti ini Alffy harus memilih dengan segala risiko. Mana yang terbaik? Kedua-keduanya penting. Alffy juga sudah bersahabat dengan Cikarang, dengan lingkungan dan masyarakatnya.
Lambat laun semoga Giva menerima keputusan Alffy. Di saat ayahnya berjuang menghidupi keluarga sekeras mungkin, Alffy tidak mungkin diam saja. Anak mana pun tidak akan mampu menahan sakit ketika melihat seorang pemimpin berjuang sendirian. Seberapa besar kita menutupi sakit itu, tetap saja tidak akan terbalut.
Alffy lebih memilih biar dia yang berjuang dan berkorban, jangan ayahnya. Alffy ingin dalam jangka waktu dekat, Alffy harus bisa memastikan orang tuanya hidup aman dan nyaman tanpa harus kerja keras seperti sebelumnya. Usianya memang masih muda, tetap pemikiran Alffy sudah sampai di sana, Alffy tidak mampu menghentikannya.
Maaf, Dek. Mungkin nanti kakak nggak bisa menemani kamu setiap hari.
Pemuda itu menutup ritsleting tas. Tekadnya sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat. Alffy harus membantu ayahnya dulu dan tidak memperdulikan dulu adiknya.
"Wait, mau ke mana, Fy?" tanya salah satu teman kostnya ketika Alffy keluar dari kamar.
"Mau pulang dulu. Nanti sore ke sini lagi."
"Pakai?"
"Bus."
"Mau aku antar sampai terminal?" tawar pemuda itu.
Disatu sisi akan bertentangan dengan prinsipnya, di sisi lain ingin segera menemui adiknya. "Boleh."
"Tumben mau." Ardan menyimpan cangkir kopi di permukaan meja, tawanya keluar begitu saja. Berbulan-bulan tetanggan membuat Ardan tahu jika Alffy selalu menatap penuh permusuhan dengan kendaraan pribadi.
"Ayolah, Dan. Aku nggak punya waktu untuk bercanda."
Pemuda itu kembali menyesap kopi disertai sebelah tangannya diangkat, mengeluarkan kode lima menit lagi.
"Kamu ini," ujar Alffy seraya berlalu dari ruang tengah. Lebih baik jalan kaki.
"Ngambekan ih! Iya, Fy, iya. Bentar, gue ambil kunci motor dulu."
*
"Giva kangen banget sama kakak," ujarnya masih dengan suara serak dan pelan.
Alffy tak pernah melunturkan senyumnya, sejak tadi dua tangan adik-kakak itu tidak terlepas. "Kakak lebih kangen dong. Setiap hari nunggu Giva bangun."
"Tapi tadi kakak nggak ada."
"Sekarang kan udah ada," jawab pemuda itu diiringi gerakan tangan yang mengelus pipi adiknya. "Kakak minta maaf, ya."
"Giva mau sama kakak terus. Kak Api nggak boleh pergi."
Dua kalimat itu nyaris membuat mata Alffy membulat. Dia takut sore nanti akan sulit kembali lagi ke Cikarang. Bagaimanapun caranya, pukul lima sudah memasuki pabrik. "Kenapa nggak boleh pergi? Kalau kakak mau pipis gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah Sedang Mengajari Aku #FJSTheWWG ✔
SpiritualeLight from the dark side Kehadirannya adalah kedamaian. Dia sangat sempurna berperan dalam kehidupan. Sang penebar harapan. Dia sangat mencintai dan dicintai. Namun, di balik itu, ada beberapa hal yang tertutup rapat. Sosoknya tegap gagah di tengah...