Nineteen:: Tugas Khalifah

35 4 0
                                    

            Mengingat proses dari memenuhi syarat donor ginjal hingga transplantasi dilakukan memakan waktu yang lama. Hingga detik-detik itu terjadi. Untuk kali ini semuanya tidak berjalan seperti biasanya. Kekhawatiran berkali-kali lipat mengingat kali ini kedua anaknya berada di ruang dioperasi, bukan salah satunya. Takut semakin mencekam dan bayang-bayang sesuatu yang buruk kerap kali menerpa pikiran.

Bagaimana dengan mereka?

Ratu berlabuh ke pelukan suaminya. Air matanya sudah deras keluar.

Setelah tiga sampai empat jam melewati detik-detik ketegangan, akhirnya mereka mengembuskan napas lega setelah dokter berkata operasinya berhasil.

Setelah menunggu kedua anaknya membuka mata, Ratu dan Fikar tidak lepas dari pelukan. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain saling menguatkan. Dan akhirnya Giva terbangun lebih dulu.

"Yah... Alffy." Ratu berucap dengan suara lirih dan bergetar.

Fikar mengusap-usap lengan atas istrinya. Ketakutan istrinya ketakutannya juga. "Baik Giva maupun Alffy, keduanya jagoan kita, Bun." Percayalah, sebenarnya Fikar tidak sekuat itu. Senyuman untuk menenangkan sang istri adalah kebohongan besar. Karena pada nyatanya, hatinya tidak berkata demikian. Takut itu ada, tetapi harus dibalut dengan ekspresi baik-baik saja.

"Alffy udah janji sama bunda. Alffy bukan anak yang bohong kan?"

Pria itu menelungkup kedua pipi Ratu dengan lembut. Matanya menatap lurus mata di depannya. "InsyaAllah, Alffy akan baik-baik saja. Dia anak kuat."

"Apa jaminannya?"

Fikar langsung memeluk Ratu, berusaha menenangkan meski dia sendiri butuh seseorang sebagai sandaran. "Ayah tidak punya apa-apa selain doa-doa. Semua keputusan Allah adalah hal yang terbaik. Kita berdoa, ya. Jadikan itu senjata kita."

Atas izin-Nya, Alffy diberi kesempatan untuk mengelola bumi Allah dan menebar kemanfaatan di atasnya. Pergerakan kedua bola mata Alffy adalah hadiah yang paling Fikar dan Ratu. Senyum kebahagiaan terbit tanpa mau pudar.

Hal yang pertama Alffy rasakan adalah nyeri pada bagian sayatan. Dia menangis, bukan karena sakit yang dirasakannya. Namun, dia mengingat berapa kali Giva keluar-masuk ruang operasi dengan sakit seperti yang dia rasakan sekarang.

"Giva di mana, Ayah?" tanyanya dengan ekspresi yang menahan nyeri.

"Kenapa menangis?" tanya Fikar dan mempedulikan pertanyaan anaknya.

"Ingat Giva dan perjuangannya."

"Adik kamu baik-baik saja. Bunda sedang menjaganya."

Obat pereda nyeri hanya untuk mengurangi, bukan menghilangkan. Namun, sebisa mungkin Alffy tidak boleh menunjukkan kesakitannya di hadapan sang ayah. Biarkan apa yang dirasakannya menjadi rahasia. "Kapan aku bisa menemui Giva?"

Memprioritaskan orang lain adalah ciri khas seorang Alffy. Fikar menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan putranya. Dia bangkit dari kursi menuju tirai yang menjadi penghalang antara satu pasien dengan pasien lainnya.

Perkiraan Ratu dan Fikar benar. Hal pertama yang Giva tanyakan adalah kakaknya. Begitu pun sebaliknya. Tirai itu terbuka, sosok Giva yang sedang tertidur pulas sedikit membuat Alffy tenang. Biasanya Giva selalu menangis setelah obat bius habis.

"Giva tadi nangis?" tanyanya menatap sang bunda.

"Hal pertama nanyain keberadaan kamu. Mungkin karena ini pertama kalinya ketika Giva bangun setelah operasi nggak lihat kamu."

Allah Sedang Mengajari Aku #FJSTheWWG ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang