Nama

4 2 2
                                    

#Nama

Nyayu haafidza merveille kurniadi

Begitulah setelah perdebatan panjang yang tentunya melalui aneka konfrensi meja berdua, kami akhirnya memutuskan memberi nama anak pertama kami.

Jauh sebelum itu, bahkan sebelum menikah, dia sudah punya facebook yang kuberi nama Phoebe Merveille.
Sebutlah aku si perempuan visioner, jomblo, belum punya pacar bahkan belum menikah tapi sudah membuat akun sosmed anak digital.

Okey, cukup!
Berhenti mengagumi saya!

Jadi Phoebe Merveille adalah nama yang sudah lama kurencanakan. Sejak 2009 di picu oleh sebuah permainan digital bernama baby maker.

Tetapi kakanda suami menolak nama itu dengan alasannya yang mengada-ngada.
Kata suami saya, tulisannya yang terlalu susah lah, cara bacanya yang rancu lah, terlalu kebarat-baratan lah dan lain sebagainya.

"Kamu bilang pubi, aku bilang pibi, lalu bagaimana nanti kalo sekolah pas gurunya membaca absen pobe?" Dengan kerutan di kening pria yang sudah menghujani sprema dalam rahim saya itu meminta pertanggungjawaban.

"Gak, aku gak terima!" Bantahnya lagi dengan keras.

"Yee, tapi kan aku yang melahirkannya, ya udah gak lahirin nih?" Ujarku dengan tatapan sengit namun bergaya santai.

Begitulah kira-kira perdebatan panjang  yang kami lakukan berdua. Karena kalau bertiga itu namanya trisome.
Sulit menemukan titik temu. Tapi akhirnya, sekeras-kerasnya aku, sekebule-buleanya aku, aku ikuti juga kemauan suamiku itu.
Karena selain karena wanita soleha cantik bersahaja, kemaslahatan uang jajan dan belanja harus terjaga.

Setelah mempertimbangkan kembali betapa sulitnya kemungkinan di masa depan buat anakku kelak, apabila aku memaksakan menulis phoebe pada namanya.
Ingat sebut aku si perempuan visioner.

Melihat kesolehaan istrinya, suamipun berbaikhati menyarankan agar phoebe menjadi nama panggilannya saja. Alias menjadi nama kesayangan dan menganjurkan padaku untuk memilih nama lain yang lebih islami.

Mempertimbangkan nama adalah doa, maka dari itu setelah berbuku-buku nama bayi dan ratusan googling nama-nama bayi yang telah kulakukan dengan sangat terperinci.

Akhirnya aku menghempaskan pilihan pilihan lain seperti Khalis karena takut nanti dianggap adonan, juga Aqila karena sepupunya sudah memakai nama itu. Dan memilih nama Haafidza untuk anak perempuan pertamaku.

Keputusan menyematkan gelar daerah di nama resmi anak pun adalah keputusanku. Wanita memang punya kuasa.

Hahaha.(tertawa jahat)

Disebabkan karena suamiku berdarah asli palembang. Padahal suamiku sendiri tidak menyematkan gelarnya pada namanya. Tapi sudahlah, itu kan bukan tugas saya, itu tugas ayah dan ibu mertua.

Okey, kembali keputusan menyematkan gelar ini aku buat karena mungkin terlalu lama hidup di luar negeri, memancing rasa nasionalismeku yang terkungkung sehingga bentuk kanalisasi dari pada hal itu adalah lahirnya keputusan ini. Dahulu, di Eropa, di Jerman tepatnya seringkali  aku mendengarkan kebanggaan rekan-rekanku yang bercerita tentang kedarahbiruannya.
Seorang Profesor mata kuliah hukum medis dulu sempat memberi informasi bahwa stereotip pemenang di perpolitikan Jerman masih di pegang oleh tracht bangsawan.
Apakah anda sudah menebak cara berfikir perempuan visioner ini?
Alasan lain adalah pernah suatu ketika aku mendengar oma dan opa pasien- pasienku dulu yang sangat bersemangat bersama anak cucunya mengumpulkan "stamt" garis keturunannya, membuat pohon klan.
Hal itu memantik rasa penasaranku, kelak bila punya anak yang berdarah asli original bukan kaleng-kaleng, apalagi kw 1 kw super juga bukan khonguan, maka aku haruslah memberi kemudahan bagi keturunanku kelak untuk membuat itu.

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang