Ada supir bernama Ilham

0 0 0
                                    

Judul: Ada supir bernama Ilham
#cerpen
Oleh : Adhe Afrilia

Namanya Pak Ilham, berbadan besar dengan wajah bernuansa Pakistan, cukup tampan. Pak Ilham memiliki penampilan elegan. Entah dari cara berpakaian juga bicaranya, Pak Ilham sopan terlihat berpendidikan. Begitulah Pak Ilham supir suamiku yang dipekerjakan oleh kantor dengan SOP utama mengantar-jemput suami, sisanya nongkrong di kantor sesuai keperluan.

Setiap pagi Pak Ilham datang, saya tak segan membuatkan kopi atau menyediakan kudapan untuknya. Tak pernah Pak Ilham memperlihatkan wajahnya muram. Meskipun, secara logika payah benar dia mencari nafkah. Rumah Pak Ilham di Cileduk naik motor ke rumah saya di Cileungsi sementara kantor di tengah kota Jakarta.

"Kenapa pak Ilham gak bawa mobil saja Pah, ke rumahnya, jauh loh itu dari Cileduk ke Cileungsi?" tanya saya pada suami.

"Gak bisa mah, kantor gak mengizinkan Papah sudah mengajukan!" ujar suamiku.

Pak Ilham memang tak pernah muram, apalagi mengeluh kepayahan. Hanya rasa kemanusiaan yang membuat saya dan suami merasa sungkan.

Rasa sungkan suami membuat dia mengutarakan, " Pak Ilham langsung ke kantor saja, biar saya naik motor ke kantor dari rumah!"

"Aduh jangan Pak, nanti saya kena masalah, kan antar jemput Bapak dengan fasilitas mobil kantor yang Bapak dapatkan itu, ladang pekerjaan saya ... Saya ini penyakitan Pak, masih untung ada yang mau memperkerjakan." Pak Ilham malah menghiba, membuat suami saya tidak tega. Begitu suami saya bercerita.

Resah setiap Pak Ilham mengantar pulang setiap malam, rasa sungkan menjadi topik curhat suami pada saya. Setiap kali kami duduk di teras lepas makan malam. Suami bertanya saran pada saya karena tak kuasa mengabaikan. Sebagai ibu rumah tangga yang punya sedikit ilmu tentang manusia, saya pun akhirnya memberikan suami tips bicara.

Singkat kata, suami pun bicara dengan direktur personalia. Menurut penuturan suami, akhirnya tips dari saya bekerja. Pihak personalia mau merekrut supir baru dengan ketentuan orang itu berdomisili tak jauh dari rumah saya, tanpa memecat Pak Ilham.

Supir baru itu bernama Pak Ada. Berbeda jauh dari Pak Ilham, perawakan serta penampilan Pak Ada lokal punya. Logat dan bicara Pak Ada sangat memperlihatkan kelas pendidikan seadanya.

Baru seminggu Pak Ada bekerja, sering terlambat seolah biasa. Saya sih santai saja, tapi suami kesal luar biasa. Semua tak menjadi masalah, mulanya.

Hingga suatu hari, ada demo buruh, Pak Ada mendadak mogok kerja. Tanpa berita membuat suami terlambat ke kantor. Sebagai istri saya hanya bisa mengingatkan untuk sabar menghadapi etika rakyat jelata.

Esok harinya selepas mengantar pulang suami tercinta. Pak Ada kembali membuat ulah. Tiba-tiba beliau meminta uang bensin atau biaya taksi pergi-pulang ke rumah saya. Tanpa basa-basi, woro-woro bak iklan streaming saat nonton youtube, hadir begitu saja tanpa diduga. Saya hanya melihat suami saya terperangah.

Kali ini, saya tak kuasa berbuat apa-apa mencoba meredakan emosinya, percuma! Sebagai istri rebahan saya jadi ikut-ikutan kesal. Sesuai penuturan suami, hal ini terjadi karena dia terlalu sopan sehingga orang lain menjadi tak segan. Eh, pas saya sudah marah suami malah menasihati saya, "sabar mah!"

"Makanya Papah tu jangan baik banget jadi orang, mungkin dipikirnya kamu sama-sama karyawan!" Saya mengoceh kesal.

"Mah, tidak semua orang memiliki kemampuan berwajah Nyai Demang seperti dirimu!" ujar suami lancang.

Setelah diskusi pelik bak sidang mahkamah. Akhirnya suami memutuskan, kembali bicara dengan direktur personalia.

Suami tidak ingin menghilangkan pekerjaan Pak Ada. Namun, tak juga bersedia Pak Ada menjemput ke rumah. Dia hanya ingin diantar Ilham saja, asalkan mobil kantor boleh dibawa Ilham pulang ke rumahnya.

"Pak tapi mobil itu fasilitas kantor untuk bapak termasuk sopirnya!" ujar suami menirukan kata pihak personalia.

"Terus Papah jawab apa?" tanya saya tak sabar dengan rasa kepo level lambe turah.

"Hah, Avanza yang benar saja?" ujar suami entah itu benar atau tidak. Bisa jadi hanya untuk menghibur saja. Suami tahu benar saya sering protes dengan sikapnya yang terlalu sopan. Saya mengacungkan dua jempol.

Teguh hati suami tetap memaksa naik motor ke kantor. Pulangnya dia mengeluh encok pegal serta meriang. Ilham tak dia izinkan datang. Avanza dia serahkan ke kantor dengan ultimatum tiada yang diberhentikan.

Kami memilih diam mengikhlaskan. Sikap terpenting adalah tidak zalim kepada orang. Begitu nasihat suami, meskipun saya mengomel panjang pendek. Bagaimana tidak, beliau mengeluh lelah kan pada saya bukan direktur personalia.

Hingga suami pulang memberikan kejutan. Dia datang dengan wajah muram Pak Ilham meninggal dunia karena sakit yang dia derita. Untunglah fasilitas kantor sudah memberikan cukup asuransi untuk keluarganya.

Hikmah lainnya BPKB Mercedes saya terima fasilitas kantor dengan jaminan balik nama. Pak Ada tetap berkerja bolak-balik ke rumah saya. Dia mengantar berkas kemana-mana. Semua pilihan sikap ada hikmahnya.

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang