Mengulang mimpi

0 1 0
                                    

#sakit
#Delayed sleep phase Syndrom
Oleh : Adhe Afrilia
Judul: Mengulang mimpi
#sakit

Semuanya masih begitu terang dalam ingatanku. Selendang sutra milikku berwarna merah yang diikat di pinggang. Juga tali pinggang emasnya. Bahkan motif bunga berwarna emas yang menyilaukan mata setiap selendang itu tersingkap menyilaukan. Nuansa kolosalnya yang begitu tua. Seperti di film persilatan tradisional. Begitu nyata.

Aku bersama mereka, bagian dari mereka berkain kemben menutup dada, melayang di udara. Seperti bidadari.

Lapangan yang ada pohon jambu air dan tempat orang membuang sampah. Tempat aku menghabiskan masa kecilku itu. Entah untuk bermain benteng, menendang kaleng, atau sekadar bergelayutan di atas pohon menjadikan pohon itu markas. Lapangan yang di penuhi semak itu, berubah drastis.

Dia berbeda, berubah. Seperti Alun alun pusat kota, tatanan Belanda. Ada kantor pemerintahan, taman dan pasar di dekatnya. Sekejap menjadi tempat yang berbeda. Tengah kota yang di bangun dalam satu malam.

Kehidupannya dinamis, seolah tak mengenal waktu. Tak ada siang dan malam. Pasar yang sibuk. Seorang bapak bertelanjang dada dengan kain di kepala memegang Kampak memukul daging dengan tulang putih besar. Kadang seperti ada pesta rakyat. Di mana banyak orang menari. Tak jarang ada perselisihan. Aku merasakan dengan jelas dan hidup dengan setting itu tahunan lamanya.

Dalam dimensi itu aku bisa melakukan apa pun. Kaki ini bisa melayang di udara. Bisa juga melompat jauh. Aku sendiri tak percaya, tapi aku mencobanya berkali-kali. Meyakini dengan kesadaran penuh bahwa itu bukan tipuan atau kebetulan. Nyata.

Aku masih bisa merasakannya. Debar jantungku yang berpacu. Rasa takjub dan kagum itu, karena masih mengingat bentuk orang-orang dan penggambaran penampilan mereka. Aku masih bisa mengira dengan persis.

Semua itu menemaniku hidupku hampir setiap malam di masa kecilku. Hingga aku berumur 10 tahun. Andai itu memang hanya mimpi harusnya aku tak mengingat dengan jelas.

Malam di mana aku tak bisa tidur nyenyak karena mereka berisik sekali. Suasana yang riuh. Malam-malam melelahkan yang membuatku tak pernah bugar di pagi hari. Mereka yang menyebabkan aku selalu nampak keletihan. Semua orang melihat, aku kecil sebagai si anak pucat dengan rambut merah, bermata sendu.

Tak ada yang percaya itu terjadi karena aku lelah. Hidup tanpa batasan waktu.
Setiap malam aku harus menangis sampai kelelahan hanya agar aku bisa beristirahat, tapi mereka tetap saja mengganggu. Benci sekali. Terlalu aku membenci mereka hingga berharap ada satu malam yang bisa aku lewati tanpa gangguan mereka. Tak pernah. Lagi dan lagi rutin. Segala usaha aku lakukan. Dari mulai berteriak keras-keras.
"Woy sudah malam, berisik!"
Tapi tetap saja mereka tak perduli. Terus membuat kegaduhan dari balik jendela kamar yang tertutup. Tapi aku tahu persis, apa yang terjadi di luar?
Bahkan berapa kali aku berupaya menghentikan mereka, meski pun berujung papa mengangkat aku kembali ke kasur.

"Halah, kamu itu ngelindur."
Begitu papaku berujar.

"Makanya, jangan kebanyakan main, pasti begini setiap malam!" omel mamaku.

Aku masih mengingatnya.
Betapa aku sengaja merengek dan menangis melelahkan diri. Alasannya sederhana, kalau aku sudah benar-benar lelah. Aku jadi bisa mengabaikan mereka. Tak perduli.

Sudah aku jelaskan berkali-kali, kalau ini bukan karena aku terlalu bersemangat setelah seharian bermain. Ini juga bukan karena tak membaca doa, tapi mereka memang mengganggu.
Mereka mengganggu karena berisik. Ada saja kejadian setiap harinya.

Mamaku bilang "yang berisik itu Kamu!"

Begitu saja semua terlupakan. Bukan aku lupa, hanya menurutku terlalu konyol untuk mengingat hal sepele seperti itu. Siapa yang mau mendengarkan celotehan anak kecil?

Hingga 5 tahun lalu, sempat aku tertarik untuk mengingatnya. Mencoba membedah sendiri aneka kemungkinan yang membuat aku menjadi seperti sekarang. Tapi ternyata tak semudah itu teorinya. Semua hanya berfungsi saat aku menghadapi pasienku. Entah dari mana datangnya kemampuan bertemu dengan titik emosi mereka. Hanya berfungsi pada pasien Paliativ di detik sakaratul mautnya atau pada pasien Depresi di titik terendahnya.

Rasa lelah setelahnya itu yang mengingatkan aku pada mereka di masa lalu. Rasa lelah yang sama antara setiap pagi aku bangun dari malam-malam buruk yang tak memiliki dimensi waktu. Rasa lelah yang menyakitkan seolah semua tenaga dan kekuatanmu di tarik paksa hingga tubuhmu begitu lemas. Oleng , macam bubur, sebut saja istilah yang kau mau!

Banyak hal yang ingatan kita bisa lupakan, tapi tidak dengan tubuh kita.

Sekarang di sinilah aku, sudah jam setengah tiga dini hari. Aku sudah lelah membuatnya menangis, tapi belum juga dia berniat, hendak terlelap. Energinya tak habis, dia bernyanyi, tertawa menghabiskan stok 7000 katanya. Selalu seperti itu setiap malam. Semua sudah aku lakukan. Sudah aku beri susu hangat bahkan juga kopi berharap paradoks efek terjadi. Doa, rukiyah, murotal, pijat semua sudah aku lakukan. Bak kelelawar, malamnya begitu hidup.
Putraku itu luar biasa cerdas meskipun mendapat diagnosa keterlambatan bicara. Aku sangat tahu pasti dia baik-baik saja. Tapi mengabaikan komentar tak berilmu itu tidak semudah kedengarannya.

Mereka yang ribut di balik jendela setiap malam. Ketertarikan yang menimbulkan rasa penasaran.
Aku tak bisa lagi merasakan keributan mereka. Aku tak bisa lagi merasakan gangguan mereka. Ada rasa kehilangan, andai bisa mengulang mungkin bisa aku temukan jawaban.

Bukan tak pernah mencoba, aku melakukannya semampu yang aku bisa. Di tempat yang sama setiap pulang kampung, berharap mereka datang lagi. Tapi sia-sia mereka tak pernah hadir. Lapangan semak yang berubah wujud setiap malam itu sudah berganti dengan bangunan rumah.

Penasaran, aku pernah menceritakan hal itu pada suamiku. Dia tertawa dan bilang, kamu ada-ada saja.
Mereka tak pernah datang lagi. Tentu aku pernah belajar tentang teori mimpi ini. Meskipun aku meyakini ini berbeda.

Setiap anak pernah mimpi terbang atau jatuh ke sumur. Kadang kita punya kendali penuh kadang juga tidak. Tapi ini bukan Lucid dream seperti tuduhan profesorku dulu. Memoriku membawa tentang kenangan utuh. Kenangan yang aku terlibat secara sadar.

Tentang aku yang berkain kemben seperti basahan gadis desa yang mandi di sungai. Dengan selendang jumputan berwarna merah bermotif bunga keemasan. Terbang. Di atas tenda tenda pasar.

Rindu yang membuatku mencoba melakukannya. Rindu akan jawaban. Malam sudah bergeser menuju tanggal baru. Suamiku sudah pindah kamar, lelah terbangun oleh celotehan putra bungsu kami. Aku silangkan kaki menuju titik Alfa, mencoba membayangkan. Merah selendang yang berkibar dengan kembang keemasan yang menyilaukan.

"Adek sayang, terimakasih sudah bobo nyenyak setiap malam."

Begitu lirih aku katakan. Kampak tukang daging memukul tulang terlihat jelas. Aku membuka mata. Melihat putra kecilku tertidur pulas.

Sedih, kembali aku merasa kehilangan tanpa jawaban. Meyakini setelah merebahkan diri ke kanan. Cerita mereka yang tak pernah berkelanjutan.

Tak pernah hadir lagi meninggalkan aku dalam kenangan.

"Mam, adek terbang." Bisik putraku dengan mata tertutup dan nafasnya yang teratur. Pulas.

Aku terkekeh geli melirik jam di nakas, pukul 03.00 dini hari.

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang