Pulang

3 2 0
                                    

Judul: Pulang
Oleh: Afrilia
Jumlah kata: 1145
#mentalillnesss #fiksi

Semua ingatan tentang dia begitu saja mendesak bulir air mataku berjatuhan. Semua tentang lelaki itu. Rahangnya yang terlihat mengeras saat marah, juga tangannya yang terkepal. Tak pernah dia sekalipun memukul aku. Aku benci hujan malam dengan petir seperti ini. "Keluarga tak berguna!" suara ibu terdengar lagi.

Padahal kalau aku ingat lagi, tak jarang memang aku melewati batas sabarnya. Namun, semua itu salahnya juga. Sejak kepergian ibu karenanya, selamanya ayah menyiksaku dalam penjara.

Cinta seperti apapun yang mengikat erat hingga sulit bernapas. Bukan kah itu sama saja seperti penjara? Ayah memenjarakan aku dalam dingin, sepi, luka tanpa kehangatan. Lelaki itu hanya bicara soal aturan, seperti penjara, kan?

Aku kehilangan saat-saat bermainku. Aku malu di saat remajaku. Aku disekap olehnya tanpa berhak berpendapat. Aku bahkan takut bernapas, sebelum dia mengizinkan. Dia ayahku! "Keluarga tak berguna!" suara ibu lagi.

"Dari mana kamu?" bentakan ayah yang tak pernah aku lupakan.

"Aku pulang les ayah?" jawabku gemetar.
Rasa takut memberi ruang inderaku menajam. Aneka suara berputar bagai kaset rusak acak membuat pening. Rasa mual yang aku rasakan setiap mendengar suara ayah.

"Pulang les, jelang magrib kayak begini?Pasti nongkrong-nongkrong sama anak cowok, ya! Mau jadi apa kamu?" tuduhan pria itu sesuka hati  terus terdengar di telinga. "Keluarga tak berguna!" suara ibu berlomba tak kalah berisik. Tik tok tik tok, saat seperti ini, jarum jam bisa terdengar begitu kencang.

"Sumpah, bener les yah, itu angkotnya lama, bener!"

Aku hanya bisa menangis, sementara ayah terus berteriak. Segala ancamannya yang akan menghabisi siapa pun mereka, kalau sampai ada teman pria yang ketahuan ayah bersamaku di jalan.

Padahal sungguh, aku tak pernah melakukan apapun yang akan membuat dia marah. Dia hanya meluapkan kemarahan tak beralasan, hanya karena melihat anak tetangga yang seusia denganku sudah berpacaran.

Ayahku memuakkan! Seberapa keras pun sudah aku buktikan, menjadi pelajar berprestasi di sekolah atau di organisasi. Tetap saja, ayahku selalu menuduh tanpa bukti dan meraup semua kebebasan.

Hanya aku anak SMA yang kemana-mana di cari ayahnya. Hanya aku yang harus di olok-olok anak papa. Suara yang terus memaki terdengar tak henti di kepala. Semua itu lebih dari cukup untuk menjadi alasan, meninggalkannya sepuluh tahun lalu, kuliah di luar kota dan tak pernah kembali.

Takdir membuat aku harus di tempatkan di rumah sakit ini. Rumah sakit pusat kota tempat aku dilahirkan. Suara tanteku sudah mengatakan berkali-kali. Adik perempuan ayah itu menyuruh aku untuk mengunjungi ayah di rumah sakit yang sama. Namun, entah mengapa aku merasa tak bisa.

Aku tak bisa memaksa kakiku melangkah ke area ruang inap itu. Jangankan melangkahkan kaki ke sana, keluar dari bayang duniaku aku tak bisa. Aku tak bisa membayangkan bertemu, melihat wajahnya saja aku tak mampu.

Aku sudah mengemasi tas kerjaku.  Sudah cukup larut malam itu. Namun para koas yang konsultasi untuk menghadapi ujian terus menahan aku hingga semalam ini. Mereka terus bertanya ini dan itu.

Aku menatap telepon genggam di tangan sekali lagi. Pesan singkat dari ayah yang belum aku balas.

"Sintya maafkanlah ayah nak, temui dia, bimbing ayahmu untuk terakhir kalinya!" Tante terus saja mengatakan itu.

Aku menggeleng. Bulir air mata tanpa kompromi melesat turun di luar kendali. Seolah berlomba dengan derasnya hujan yang turun malam ini.

Aku melangkahkan kaki menyusuri lorong-lorong suram berbau disenfektan, sengit terhembus angin. Sengaja aku menekan bumi yang aku pijak kuat-kuat untuk memberi kesadaran. Harusnya jiwaku lebih kuat dari masa lalu yang kelam itu.

Bayang-bayang dinding putih di lorong sudah beriak dari mataku seperti mengambang. Tak jauh berbeda, serupa genangan kolam yang melayang-layang. Hingga kakiku terasa berat. Di depan bangsal ruang inap aku berhenti mematung. Gelisah aku merapatkan jas putihku yang terasa berat.

Sekelebat bayangan masa lalu berputar acak di benakku. Teriakan kencang ibu berdenging seiring petir yang memberi kilat. Aku benci suara hujan. Berkali aku mencoba menarik napas dalam.

"Apa anda baik-baik saja Dokter Syntia?" tanya seorang perawat mengacaukan lamunanku.

Aku mengangguk membiarkan perawat itu menuntunku. Aku memasuki ruang putih berbau menyebalkan ini lagi. Kenapa aku disini? Bukankah seharusnya aku pulang? Aah suara hujan malam yang aku benci kembali terdengar.

Pria berahang keras itu terbujur kaku. Dia terlihat begitu tua. Tatapan matanya masih setajam dulu. Ketampanan dan keangkuhannya tak hilang di makan waktu, sialnya aku warisi semua itu sempurna.

Aku melihatnya. Dia memandang tajam ke arahku. Tubuh lemahnya seperti palsu. Tangannya yang terkulai itu begitu kuat menarik bahuku. Dia begitu berkuasa menghempaskan aku ke masa lalu! Hanya lewat tatapan saja, semudah itu!

"Syntia bilang sama ibu!  Apa yang tadi Syntia ceritakan pada ayah ? Katakan!" Tatapan Ayah nyalang menyeramkan.

"Ada, ada om tadi itu, ada om yang baik kan, Bu?"

"Anak sial!"

Aku tak suka hujan malam karena membuatku ingat, saat itu hujan di kala malam yang sama berpetir. Bukan bunyi gelegar yang aku takutkan tetapi kilat terang itu, yang terpantul pada gunting yang ibu pegang. Juga kemarahan pada matanya yang bersinar.

Satu, dua ... lima, tujuh detik ketika gunting yang hendak melukai aku terhalang tangan ayah suara di kepalaku menghitungnya. Aku menghitungnya tepat, setelahnya ibu melukai dirinya sendiri. Perempuan itu mengatakan dia membenci aku dan ayah. Dia sudah pergi ke langit hanya suaranya tak henti berisik. Lelaki yang terbujur itu ayahku. Dia pendusta yang sudah berjanji, ibu tak akan marah.

Dia sengaja membiarkan ibu pergi. Ayah ingin menguasai napasku sendiri. Aku hanya bisa menangis lagi. Aku benci kilat petir malam. Suara petir itu lagi. "Anak tak berguna!" Andai aku bisa mengatakan ibu tak pernah bunuh diri, dia terus mengoceh di kepalaku yang kecil ini.

"Dokter Syntia, anakku dokter Syntia, tidak apa-apa nak itu hanya hujan!"  lirih suara lelaki tua itu terdengar meratap. Salah dia kenapa memaksaku bicara! "Anak tak berguna!" Lelaki itu senang lepas dari istrinya yang jalang, andai dia tau istrinya masih hidup di kepalaku. Aah suara hujan malam yang aku tidak suka.

"Kembalikan napasku!" Aku mencoba berteriak kali ini rasanya aku tersengal. Kau tahu saat terlalu banyak suara di kepala yang ingin kau kalahkan dengan realita! Aku memijakkan kaki kuat-kuat berusaha bisa melompati dunia dalam kepalaku. Aku tak ingin kembali ke kota ini.

Sayup diantara setidaknya tiga suara yang aku dengar. Lelaki tua itu berkata, "Saya sudah tua dok, Syntia anak saya bahkan berhasil sejauh ini hingga bisa menjadi dokter ... seandainya dia tak kembali ke kota ini!" Ayahku, lelaki tua itu berkata dengan suara bergetar.

"Sabar pak, Dokter Syntia hanya kolaps setelah pengaturan obat kembali, setidaknya enam bulan mungkin dia bisa kembali menjalani aktivitasnya hanya saja bertambah satu suara perempuan yang dia sebut tante!" Perawat yang bicara terlihat pintar juga.

"Saya tak punya adik Dok!" lirih napas ayahku bisa aku rasakan. Aku tahu jantungnya sudah lemah. Dia juga akan pergi. "Keluarga tak berguna!"
Ah aku benci petir kala malam.

Rasanya selalu sulit untuk bernapas. Aku kecil menghitung sampai tujuh. Aku rampas gunting yang pernah melukai ayah. "Hah!"  Napasku kembali setelah satu Tante itu mati. Tunggulah ayah, tunggu sebentar. Aku masih berjuang melawan suara hujan dan suara ibu. Tunggu ayah, aku harus mengambil napas sebentar.

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang