Filsuf dan ulama

0 1 0
                                    

Filsuf dan ulama

Filsuf dan ulama adalah dua hal yang berbeda, tidak hanya di Indonesia dan dalam Islam melainkan juga agama lain.

Fenomena bermunculan aneka filsuf berbau agamawan sebagai pemberontak dalil dan kitab di Indonesia dua puluh tahun terakhir adalah sebagai gerakan liberalisasi agama, mungkin untuk sebagian orang itu bagian dari jalan dakwah. Saya mencoba berpikiran baik.

Sebenarnya hal ini pun sah-sah saja bila sang filsuf tidak mengatasnamakan dirinya agamawan atau tidak pula di panggil dengan sebutan ustad, tokoh agama.  Pertanyaannya siapa yang bisa melarang? Bila kapabilitas beliau-beliau ini sebagai tokoh sebut saja pejabat, politisi, psycholog, seniman, budayawan dan lain sebagainya. Sejatinya berdakwah adalah hak dan kewajiban semua orang yang memiliki iman?

Namun, hal itu akan menjadi "perusak" ketika filsuf-filsuf ini tiba-tiba disebut Ustad, Ulama apalagi bila kemudian mengusung pergeseran nilai dan aturan pakem, mengacak-acak dalil dan kitab sesuai interprestasinya. Untuk ranah pribadi sah-sah saja, karena itu pendapat beliau, ukuran iman diri sendiri, standard ganda bahwa kebenaran mutlak hanya pemilik zat yang Satu.

Namun, menjadikan interprestasi pribadi sebagai dakwah umat itu penyesatan, sebab  agama akhirnya kehilangan kesakralannya. Pada akhirnya hal itu membuat agama kehilangan tempat, sehingga tafsir kitab suci menjadi tak berbeda dengan budaya, kultur, norma, setempat buatan manusia. Mengerikan!

Suci kehilangan kesucian atas nama kemanusiaan. Padahal kita tahu bahwa agama ada karena aturan kemanusiaan berupa norma, budaya, adat dan hukum negara tidak sempurna.

Bahwa semua aturan bisa berubah adat, norma, budaya, aturan lokal, bahkan hukum undang-undang bisa bergeser sebaliknya aturan kitab suci tidak!

Banyak negara-negara maju yang agamanya kehilangan tempat karena liberalisasi humanisme.Pada akhirnya hopless dan mencoba menumbuhkan keberadaan agama kembali. Oh ya, saya mengalami.

Agama kembali dicoba terintentegrasi, dan bahkan ilmu-ilmu psychologie memasukkan kembali agama dalam terapi, padahal mulanya agama begitu ditentang dan kehilangan tempat. Why?

Tak lain tak bukan karena agama dan kesakralannya adalah pondasi, dimana budaya lokal, norma, adat, hukum setempat termasuk humanisme dan kemanusiaan seharusnya hanyalah design arsitekturnya yang melahirkan manusia-manusia yang kokoh rupawan dan berbudi.

Sehingga mengacak-acak pondasinya hanya akan menjadikan bangunan berbasis humanisme liberal ini tak kokoh goyang dan roboh.

Silahkan ambil referensi ilmu dari berbagai sumber bila pondasi cukup kuat, tapi tidak bagi generasi labil dan baru menetas. Sebab ini hanya akan melahirkan manusia rupawan yang goyang berbudi.

Ukuran kasih berbudi suatu kelompok tentu akan berbeda, disini tidak sama dengan berbudi disana layaknya gestik mengangkat jempol disini dan disana tak akan sama. Hakikat mutlak yang anda pahami adalah milik anda, menyebarkan, mengajak orang lain itu sudah ranah urusan yang lain, karena melahirkan manusia beriman tak mungkin bisa tanpa ketaatan dan tak kan berhasil bila agama kehilangan ruang
#waspadaliberalisasi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang