Tak usah memaki kecuali menggunakan bahasa asing

4 1 0
                                    

Tak usah memaki kecuali dengan bahasa asing!

Adalah kebiasaan yang tak terasa sudah dijalani sejak 30 tahun nan lalu. Semua orang dekat bahkan suami menjadi paham. Kalau sudah terdengar alunan musik rap ala Eminem, berarti aku sudah mulai emosional. Lupa istilah, "kata adalah rasa." Entah pernah aku baca dimana?

Seperti kata pepatah yang aku karang sendiri, "kebiasaan mendukung semesta, bisa menggeser takdir". Tapi, bisa jadi Tuhan  sedang mengajakku bercanda. Maka hiduplah aku puluhan tahun di negeri antah berantah. Tak memaki kecuali dengan bahasa asing. Kebiasaan mudah berubah, walau hanya sekadar berganti kata. Goblok! Otak kurang setengah! Monyet! Tokai!

"Takdir berulang, bila belum juga kau petik pelajaran!"
Lagi, pepatah yang aku ada-adakan saja. Kembali ke tanah air dan menikahi tetangga. Jodohku lima menit dari rumah. RT 5 RW 3, buka jendela bisa langsung sungkeman pada mertua. Kebiasaan berubah hanya sekadar mengacak kata.

Hingga suatu ketika. Putri kecilku yang masih TK berlinang air mata.

"Masak aku cuma bilang, what the fucek aja dibilang parah!"

Suamiku yang turut mendengar, melirikku seksama.  Terlihat sekali dia menunggu respon apa yang akan aku lakukan.

"Jadi kak, fucek itu bukan kata yang elok." ucapku menjelaskan.

"Itu momski suka bilang, kan?"

Sengit anak umur 4 tahun ini melirik tajam.

"Itu momski kepentok kak, kepentok itu sakit, kalau momski sakit, kakak mau sakit juga?"

"Kalau yang momski lakukan buruk, kakak mau ikut buruk juga?"

Dia menggeleng cepat.

Tersenyum dia memandangku penuh arti kemudian dia menggelengkan kepala.

"Momski, ternyata suka bicara parah." pungkasnya tajam seraya berlalu dengan pandangan tak lepas mengintimidasi.

Kehilangan fokus, kaki kecilnya menyandung undakan.

"What the .... "

Bibir kecilnya terhenti memandang aku dan ayahnya.

"Heck."

Cepat aku menyahut dan langsung ia tiru.

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang