superego

0 1 0
                                    

#cerpen
#520 kata

Namaku Putri, menjadi satu-satunya dokter geriatri  perempuan pertama dari Indonesia. Aku menjadi pemimpin pusat rehabilitasi terbesar di negara bagian selatan Jerman. Namaku pernah tercatat sebagai orang yang berperan penting dalam penelitian penciptaan metode terapi terbaik Demensia pertama di Eropa- Amerika. Di sana seharusnya tempatku.

Namun, tempat penuh kebanggaan sebagai puncak karir seorang profesional dan akademisi itu, ternyata bukan jatahku.

Aku masih mengingat rasa itu. Begitu berat melepaskan, apa yang sudah kuraih.
Bahkan aku menangisi  tumpukan file yang terlepas dari tanganku. File  yang jatuh di dekat meja cafetaria klinik,  di depan Nyonya Wagner.

Perempuan itu kuanggap lebih dari seorang guru. Ia pemilik usaha kesehatan terbesar di Jerman selatan. Kuanggap ia sudah seperti ibu kandung.

Perempuan itu tersenyum kecut. Aku tahu, dia juga tak rela melepas putri terbaiknya begitu saja.

"Kamu tahu bisa kembali kapan pun kamu mau, kan?"

Sebuah pelukan erat aku terima, bahkan perempuan itu mengecup pucuk kepalaku.

Derai air mata  membanjiri wajah kusendiri. File penelitian itu adalah karya terbaikku. Pekerjaan hebat yang menjadi setengah keakuanku.

"Hon, maafin aku, tapi kita masih bisa membicarakan semuanya ... tapi pulang ya?"

Suara itu  melemah. Rayuan lelaki yang telah menikahiku itu terdengar menyebalkan. Sementara aku berharap bisa mengulur waktu, meski pun negosiasi sudah menuju jalan buntu.

Bukan aku tak cinta padanya. Tapi, aku tak paham kenapa cinta harus meminta pengorbanan sebesar itu bagi seorang perempuan menikah yang berada di puncak karir. Aku tak mampu.

Orangtuaku  mengatakan,  ini sudah bukan lagi tentang dunia ketika bicara permintaan suami, bahkan argumen terkait neraka juga mereka sampaikan agar aku taat pada lelaki itu. Tunduk padanya adalah  keputusan final bukan perdebatan atau diskusi panjang.

"What if .... ?"

"6 bulan oke, 6 bulan kamu buktikan, kalau enggak bisa, ya artinya aku kembali, deal?"

Bodoh. Aku terlambat menyadari buah dari negosiasi buruk yang aku sesali.
18 jam perjalanan paling menyedihkan aku lalui penuh air mata, seolah mencabut paksa keakuanku. Tak sedikit lancang, aku memang memberi batas waktu Tuhan. Kenapa hukumnya yang itu terasa begitu berat?

"Semudah itu, Putri?"

Aku masih mengingat jelas raut profesorku yang marah, kesal dan berduka. Dia bahkan bertaruh kalau semua yang aku katakan adalah lelucon belaka. Tapi dia salah, bayi perempuanku sudah delapan tahun usianya, diikuti tiga tahun setelah itu, lahir adik lelakinya.

Waktu terasa begitu perkasa melipat cepat. Namanya juga Tuhan, ya terserah Dia saja. Aku siapa, coba memberi deadline? Konyol memang, meski pun bahagia lain itu ada. Bahagia yang besar karena lahirnya dua mahluk kecil.

Dua mahluk kecil itu, tertunduk takut setelah lelah meminta maaf.

"Kamu super mami dan itu berarti lebih dari apa pun untukku, aku hanya ingin kamu jadi ibu yang bahagia."

Suara suamiku itu kembali terdengar melemah. Bujuk rayunya kembali terdengar menyebalkan. Aku meraih setumpuk file yang sudah berselimut pensil warna warni, melemparnya ke dalam tong sampah. Copy file itu adalah sisa berkas kenangan, penelitian dengan namaku yang begitu harum di sana.
Terlihat tak hanya dua malaikat kecil itu yang memucat.

"Hon, please !"

Dia mengeratkan pelukannya pada kedua anakku. Aku memasuki bilik lemari setelah membantingnya keras. Menangis.

💜💜💜

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang