Judul : Perempuan berwajah ramah

3 0 0
                                    

Judul : Perempuan berwajah ramah.
#Cerpen
Oleh : Adhe Afrilia

Kami saling berhadapan. Wajahnya masih tetap ramah, seperti lima tahun lalu saat kami mula-mula bertemu, dengan alis rapi dan kulit pucat dan bentuk bibir yang membuatnya tampak selalu tersenyum, tetapi mata dan tangannya tidak lagi. Mata itu memandang kosong dan tangannya menggenggam belati.

"Kamu temanku!" katanya menyentak lamunanku seraya menunjuk padaku. Tangannya masih berlumur darah hingga bajunya basah duduk tanpa air mata, dengan sorot mata hampa. Sialnya mungkin terletak pada wajah yang ramah itu, memberi prasangka kecil sepintas di kepalaku,  seolah dia sedang tersenyum, dibalik sorot mata yang hampa.

Aku berlari ke kamar mandi pada apartemen sebelahnya, mengucap permisi, ijin ke kamar mandi, muntah. Penjagalan adalah kata yang tepat untuk banjir darah yang aku lihat. "Boaaaah!" Aku harus berteriak seperti itu, menumpahkan kengerian, rasa mual, kegilaan, juga kesedihan yang tak aku pahami. Semua yang baru saja terjadi adalah mengerikan.

Kepalaku berbintang, mencoba mengingat sebuah nama yang terselip di celah memori otak, tidak aku temukan. Sial. Aku memang pengingat nama yang buruk, tapi tidak pada wajah. Dia perempuan ramah adalah salah satu teman sekelas dalam sebuah mata kuliah kesehatan jiwa, rasanya enam bulan atau satu tahun, aku pernah duduk dalam satu ruang bersamanya.

Dia selalu mengenakan pakaian bergaya army, hitam, hijau, abu, coklat seolah hidupnya begitu gelap. Yah, dia pernah berbicara lantang dengan begitu putus asa, di sebuah seminar pada suatu waktu. Kemudian puzzle ingatan naik mengambang di permukaan kepala. Dia tenaga medis militer satu-satunya perempuan di barak, frustasi menceritakan trauma kekasihnya yang satu dari para prajurit sepulang dari Afganistan.

Tubuhku bergetar, rasanya hilang tenaga untuk kembali melangkah ke dalam bangunan tersebut. Namun, melihat beberapa petugas kepolisian, susah payah aku seret juga kakiku, mengumpulkan keberanian dengan jutaan pertanyaan di kepala, bahwa hari ini, seharusnya semua berjalan normal seperti biasa. Toh menjalankan dinas ambulan emergency selama ini, tak pernah ada drama berarti, tidak sedramatis ini.

"Frau Afrilia, katanya kalian saling mengenal?" Pertanyaan macam apa yang dilontarkan petugas kepolisian ini, perempuan berwajah ramah itu, lancang sekali, mengaku-ngaku mengenalku, demi Tuhan, aku hanya pekerja migran biasa, patuh pajak, tidak pernah ingin mencari masalah. Pisau, darah, kematian, bukankah  ini lebih dari sebuah masalah?

Mengerenyitkan kening, bahuku sedikit naik, hampir mencibir dengan menyemprotkan tawa. "Entschuldigung bitte?" tanyaku mencemooh, kemudian aku kembali menuntaskan kata , "Saya tidak yakin saya mengenal dia, kami bahkan tidak pernah bertukar kata!"

"Fransiska!" ucapnya tenang, masih dengan wajah itu. "Kau Afrilia, manusia tanpa nama belakang, dari Indonesia dan kau muslim satu-satunya, tentu saja saya ingat karena kamu satu-satunya teman saya yang muslim, juga satu-satunya manusia tanpa nama belakang yang aku kenal!" ujarnya tersenyum tenang.

Rasanya begitu anjay, lebih buruk dari pada terkecoh di tanggal satu april, lebih menjengkelkan dari sebuah todongan permen saat halowen. Tentu dia benar, andai tanpa aneka keramaian ini, andai situasinya senormal biasanya, sekedar bertemu di kampus, sudah pasti tak segan aku melempar air ke wajar ramah perempuan itu. Sial, bahkan saat menyebalkan seperti ini, wajahnya masih begitu, ramah.

Carmen menarik lenganku perlahan, mewakili diriku bicara, dia menjelaskan kronologi panggilan yang membuat kami datang. Tak berlama aku dan beberapa petugas memastikan jenazah terbawa ke ambulan dan mengabaikan dia.

"Kau tahu aku sudah dipresi sejak lima tahun lalu!" teriaknya menggila. Aku yang hendak membuka sarung tangan karet menoleh. "Fransisca, kita tidak pernah berteman dan wajah ramahmu itu mengatakan crazy muslim war!" ucapku membuka sarung tangan seraya membiarkan telunjuk tengahku mengacung, empat jari lain terkepal, bibirku bergerak tanpa bunyi F.U!

Aku tak mendengar lagi, sumpah serapah teriakannya berlalu pergi dengan bunyi sirene. Sentuhan pada punggung bahu yang diusapkan oleh sebelah lengan halus Carmen terlihat berusaha menenangkan. Dunia sudah gila, jangan ikut menggila, begitu kira-kira petuah yang keluar dari bibir perempuan seusia ibuku itu.

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang