Catatan Luka di Musim Panas

0 1 0
                                    

Summer 2018

#deutschlandfussballmanschaft

Tulisan ini saya buat untuk semua yg sudah dengan tidak sopan dan tidak berperikasihsayang, menyebut saya dari semalam. Entah melalui komunikasi pribadi seperti pesan aplikasi seluler, atau juga pura-pura tak sengaja mencantumkan nama saya dalam laman sosial medianya. Yang tertawa di depan muka saya juga tak sedikit. Ya! Ini jawaban atau Bullyan serta caci maki anda atas segenap rasa cinta ini.

(Ich bin 35 Jahre alt aber heute weiss ich erst... Die Liebe kann So gemeint sein) 😭

1990 waktu itu saya masih sangat belia untuk mengerti sepak bola atau piala dunia itu apa? Tapi yg saya ingat, di tengah malam, saya dibangunkan nenek. Masih setengah sadar saat melihatnya tengah menyeduh kopi.
"Kamu tidak boleh melewatkan sejarah!" ujarnya kala itu.
Saya tentu saja tak mengerti.

Apa isi koran yg selalu dia ceritakan? Semuda itu, aku belum bisa membaca. "Italia mungkin akan juara dunia tahun ini karena piala dunia diselenggarakan disana." kata nenek waktu itu.
Pertandingan yg saya tonton malam itu adalah Arab lawan Jerman.

"Kalau mau naik haji, kamu harus dukung Arab, sebagai sesama muslim kita harus saling mendoakan!" kata nenek waktu itu.

Saya hanya anak kecil yang tak mengerti. Masih terlalu jujur dan polos untuk memaknai rasa dari sebuah pertandingan. Senang saat Jerman menundukkan Arab dengan skor akhir 5:1. Saya bersorak, berteriak bahkan bertepuk tangan berlari mengelilingi Tv malam itu. Nenek? Tentu saja nenek marah. Seharian aku tak disapanya.

Das ist meine erste Liebe.

Itulah kenangan indah yang membuat saya jatuh cinta pada sepak bola. Olahraga yang di kenalkan oleh seorang Nenek, yang merupakan Tante mama saya.

Cinta juga mengajarkan saya semuda itu tentang konsekuensi mencintai. Drama penalti tengah malam itu antara Inggris - Jerman yang dimenangkan Jerman, mengukir tajam ke alam bawah sadar.

"saya pasti akan ketemu sama pemain bola Jerman besar nanti."

Ini juga jawaban, mengapa meski pun euvoria liga Italia begitu cetar membahana di Indonesia tak sedikit pun menarik minat saya? Saya tak pernah mencintai sepak bola Italia, karena di usia  empat tahun saya terlanjur mengerti.

Kalau ada juara 1 kenapa pilih juara 3 ?
Yang takluk di kandang sendiri? Oh aku bukan sedang mengungkit-ungkit sejarah. Hanya sedikit menundukkan sebuah keangkuhan, Italia pernah sama memalukan.

Frans beckenbauer sudah memahat cinta di hati anak ingusan itu, aku! Rudi voller dan tentu saja Jurgen klinsmann. Apa peduli anak umur empat tahun pada Diego Maradona ketika Andreas brehme mengalahkan Argentina? Maafkan, ini jawaban saya selama ini untuk semua pecinta Messi. Saya bahkan membayangkan diri ini melambaikan tangan bak Miss Universe seraya mencela anda.

Tahun-tahun berikutnya saya adalah teman setia nenek dalam  menonton bola. Malam-malam menyenangkan dengan  indomie rebus lengkap dengan perintah solat Tahajut  ketika sesi istirahat pertandingan terjeda. Kacang dua kelinci mengisi malam- malam piala dunia dan Eurocup, membuat saya harus menyapu halaman esok paginya. Ah, jika saja tante mama saya itu masih hidup, pasti dia akan turut menertawakan saya. Nek, Al- Fatiha untukmu dengan seluruh hati ini.

Sejarah itu yg membuat saya diantara kepopuleran AC-Milan di eranya, hanya akan tetap jatuh cinta pada Jerman. Tak peduli bila hampir semua teman-teman saya Italiansquad. Begitupun suami saya.
Bisa anda bayangkan bila piala dunia bisa memicu perang dunia ketiga? Tapi tak apa, bukankah doa mengubah takdir langit, kan? Kita tak pernah tahu, kapan dia akan berhenti dari kekhilafannya menuju jalan yang benar!

Mulai kuliah ketika semua proposal ditolak orangtua, harapan masa depan saya sudah dipatok mama.

"Kalau mau kuliah, jadi guru tidak ada negosiasi !"
Keterpaksaan yang mengantarkan saya pada pilihan umptn "pendidikan " dan saya memilih pendidikan bahasa Jerman.
Rasanya tak perlu lagi saya jelaskan, mengapa?

Kenyataan bahwa hanya setahun kuliah mengantarkan saya ke negeri impian seharusnya tidak mengherankan. Tentu saja, saya bolak balik keluar masuk stadion di Jerman menonton Bundesliga. Totalitas selalu menjadi nama tengah saya, Atlet regional liga pun saya kencani. Pesta, foto atau hanya sekadar salaman sama Michael ballack , Kevin Kuranyi , KhaKha hingga Philip Lahm  mengisi masa remaja saya yang menyenangkan.

Menonton piala dunia hingga menangis tersedu- sedu di tahun 2006 di Jerman.
Ya, ketika Jerman kalah melawan Italia adalah luka besar yang mencabik-cabik hati ini. Tapi saya selalu mencintai permainan Jerman. Cinta di hati saya tidak se-receh itu.

Ich war die jenige die Immer gesagt haben.
Ich Liebe die Deutsche tugend.

Nyaris 10 tahun tinggal di sana. Bekerja dan hidup untuk Jerman layaknya orang Jerman. Hingga pilihan dan kedewasaan membuat saya akhirnya memutuskan pulang kembali ke tanah air pas lagi asyik-asyiknya.

Aber die deutsche tugend So wie das einstellung des leben .
Wuerde ich sagen , Ich bin eine deutsche Im kopf.

Sehingga sepanjang WC2018 ini saya terluka, kecewa dan marah karena Jerman bermain layaknya bukan orang Jerman.
Die deutsche tugend die ich liebe, sama sekali tidak terlihat di sepanjang WC kali ini. Saya kecewa! Saya terluka! Mau bully? Silahkan!

Karena patah hati ini lebih dr pada itu ....
Karena ini bukan sekedar bola itu bulat ....
Bukan sekedar menang atau kalah! Tapi luka karena melihat orang-orang yang kita cintai, tak mampu memberikan kemampuan terbaik yang seharusnya dia berikan!

"wir haben es nicht verdiennt! "sag loew

Und was ist mit uns das Fans order die ganzen Deutschland die steurn zahlen fuer das milionen euro die ihr verbock haben?
Shaem euch! "

Adheafrilia

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang