Diana

4 1 1
                                    

#Judul : Diana
Oleh : Adhe Afrilia
Jumlah kata 676

Saat pertama bertemu, memang bukan cinta pada pandangan pertama. Diana memang cantik, tapi jujur aku katakan saat itu juga, yang cantik bukan dia saja. Waktu itu aku memang lebih kagum dengan Tiara yang memang sudah jadi idola, ada juga si Widya dia begitu seksi menggoda. Belum lagi Lusia dan Ketrine dua ini, layaknya wanita dewasa nan elegan, semakin matang makin mempesona. Sementara mereka yang cantik dengan lipstik merah merona berbau mahal hanya bisa aku idamkan dalam hasrat diam-diam.

Aku tahu, kalau aku sudah sedikit kejam berkata pada Diana yang cantik, dengan kata yang sangat terus terang begitu. Tapi pada dasarnya, ya aku begini orangnya, tak pernah suka berbasa-basi. Lisanku lugas dan jujur. Aku tahu dia tertunduk lesu. Tapi kejujuran meski pahit harus aku utarakan. Tak peduli bila itu menorehkan luka semakin dalam pada fisiknya yang memang tak sempurna.

Aku juga bilang pada Diana, bukan aku tak tertarik. Tapi aku orang yang sangat bertanggung jawab. Bukankah itu lebih penting dari sekadar kata? Banyak lelaki lain yang hanya mengumbar cinta, membawa pulang lalu menelantarkan? Lebih miris mengaku sayang kemudian bahkan tega menjual begitu saja. Jauh-jauh bawa dari kampung terpencil hanya untuk menjadi exploitasi komersil di kota. Jahat!

Diana dan keluarganya tahu itu. Sudah bukan rahasia yang ditutup-tutupi lagi jaman sekarang. Lelaki-lelaki itu tak lagi malu terang-terangan datang ke tempat ini, membawa mereka pergi. Tak perduli bahkan bila wanitanya melihat. Tak ada tabu lagi. Mengikuti perkembangan zaman katanya.

Jadi, aku katakan pada Diana. Dia terluka dan aku tahu itu. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab aku juga mengatakan  hal itu pada orangtuanya, pemilik sahnya.

"Pak, mohon maaf saya memang belum bisa melakukan akad hari ini, tapi seminggu lagi saya akan datang kembali!" ujar saya dengan sangat sopan.

Bahkan pada orangtuanya saya juga mengatakan, bahwa saya tak mungkin membawa Diana yang cacat itu sebelum dia sedikit sembuh. Benar, dia tertunduk lesu. Mungkin terluka mendengar ucapanku. Mungkin semakin pedih karena harapnya yang begitu besar ingin aku pinang. Yah, siapa yang tak mau. Semua orang menyebut aku sultan.

Karena itulah, hari itu aku membawa pulang Reina seorang. Aku melambaikan tangan menjauh. Sebelum berpisah, aku mengelus tungkai Diana lembut.

"Sabar ya sayang, Abang pasti datang menjemputmu!"

Gentleman! Itulah aku yang melangkah mendekap Reina sepupunya meninggalkan dia, Dianaku.

Selama seminggu, tentu tanpa diketahui Reina, aku mencoba mencari pengganti Diana. Aku tak bisa melupakan kecantikannya tapi juga tak bisa menerima begitu saja cacatnya. Aku lelaki yang jujur. Meskipun, mahar yang di tawarkan padaku sebenarnya cukup murah. Tapi cacat tetaplah cacat. Aku tak mampu ikhlas menerima semudah itu.

Rupa Diana yang cantik selalu membayangi aku. Disitulah aku menyadari bahwa cintaku lebih besar dari pada rasa kecewaku akan cacat fisiknya. Aku mencari di semua tempat baru di kotaku. Bahkan hingga keluar kota. Tentang sosok Diana lain yang tak punya cacat itu. Tak bisa. Hatiku telah terikat pada janji, akan menemui dia seminggu lagi.

Hari ini aku sudah bersiap pergi. Sudah seminggu sesuai janjiku, aku akan menemui, meminang dan membawanya pulang. Dianaku. Aku mengenakan pakaian terbaik. Senyum seolah terpaku tak kunjung lepas dari bibirku. Rasa rindu akan Diana sudah memenuhi sisi hatiku. Melupakan pesona Tiara, Reina, Andini dan semua yang ada di istanaku.
Aku begitu gemas ingin segera merengkuh Diana dalam pelukan.

Orangtuanya sudah tersenyum ramah menyambutku. Mereka memang selalu menyanjung sultan seperti aku. Basa- basi murahan menukar anak mereka dengan uang. Apalagi? Tapi menyadari Diana sudah pergi, membuatku begitu kecewa dan patah hati. Bagaimana bisa orangtuanya melanggar janji. Aku tak terima, aku terus mencari, di setiap sudut ruang.

"Udah gak ada pak, Diana sudah pergi," ujar orangtua itu.

"Tidak mungkin, dia cacat, bagaimana dia bisa pergi?" bentakku kesal.

"Maaf Sultan harus mengerti, ada lelaki biasa yang datang memaksa meminang Diana, dia mau menerima kekurangannya ... kami tak mungkin menolak," ujarnya memohon pengertian.

Rasanya aku bagai tertampar keangkuhan. Hatiku kecewa dan berjalan lunglai, bahkan untuk marah pun aku tak mampu.

Aku menatap sahabatku Willy yang mengetahui hampir semua seleraku pada mahluk berparas cantik. Dia hanya menepuk bahuku.

" Sudahlah koleksi aglonema kamu sudah banyak, itu cuma Diana saja!" ujarnya menghibur kecewa yang aku rasa.

Aufsatz LosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang