Prologue.

2.1K 157 6
                                    

Dua puluh dua tahun aku hidup di dunia ini, tidak pernah sama sekali aku keberatan atas banyak hal, Tuhan.

Ketika mama dan papa memutuskan untuk memberiku adik bahkan ketika aku sama sekali tidak mengharapkannya, aku tidak keberatan.

Aku pun tidak keberatan ketika mama dan papa memasukkanku ke asrama tanpa persetujuanku di usia tiga belas. Mungkin mereka ingin aku lebih mandiri, pikirku.

Bahkan ketika papa dan mama memutuskan bercerai ketika aku masih di asrama tanpa tau apa-apa, aku sama sekali tidak keberatan dan tidak menangis sebanyak Rai, adikku. Toh semua akan baik-baik saja pada waktu yang tepat, tidak masalah selama aku menjalaninya dengan senang hati. Aku, Rai dan akhirnya pun tinggal bertiga setelah mama setengah mati memenangkan hak asuh sebelum seorang laki-laki dewasa datang kerumah dan meminta izin untuk menikahi mama.

Semuanya masih baik-baik saja, aku tetap bahagia; sebagai anak laki-laki tertua, aku tetep mendampingi mama naik ke altar di hari bahagianya. Akupun harus turut bahagia, tidak apa-apa; toh mama tidak akan terlalu lelah bekerja untuk membayar biaya sekolah adikku. Tidak masalah, ma; akupun harus senang untuk menyambut Ayah.

Setelah kemudian kami pindah ke Chicago; negara asal Ayah. Aku pikir tidak ada yang salah, toh kami bisa memulai hidup baru.

Kemudian begitulah hari-hari berjalan, aku sibuk dengan pekerjaan paruh waktu dan persiapan masuk kampus di usia yang seharusnya aku sudah hampir wisuda. Yah tidak apa-apa, tidak ada kata terlambat untuk pendidikan bukan.

Begitupun dengan Rai yang sibuk beradaptasi dengan sekolah barunya, pergi ke Gereja setiap hari minggu, lalu pulang dengan kue kering di tangannya. Tidak ada yang aneh dengan anak itu, setidaknya itu yang sedikit aku tahu karena sebetulnya kami tidak dekat. Yeah, masa remajaku banyak dihabiskan di asrama sebelumnya.

Tidak ada waktu kami untuk menikmati waktu sebagai sepasang saudara yang seharusnya saling melindungi, atau setidaknya duduk berdua di depan komputer dengan consol game di tangan— sama sekali tidak pernah sebelumnya.

Raiga, anak itu hanya akan keluar dari kamarnya saat merasa lapar. Sementara untuk minum, dia meletakkan sebotol besar air mineral di bawah tempat tidur.

Jarang sekali bicara kecuali sudah waktunya uang sekolah harus dibayar.

Tidak pernah bermain bola di halaman kecuali ayah yang memaksanya.

Dan tidak pernah mengeluh sakit sampai aku menemukannya pingsan karena migrain.

Entahlah apa yang salah, aku sama sekali tidak peduli. Padahal Chicago tidak seburuk itu, masih banyak hal yang bisa dinikmati di sini; tapi lihatlah dia, selama tiga tahun kami tinggal di sini yang dia tahu hanya jalan ke Gereja, sekolah dan rumah Kai; tetangga kami, sekaligus satu-satunya teman yang dia miliki.

Aku pernah sesekali berpikir mungkin mama menjadi kurang perhatian karena sekarang pekerjannya semakin banyak, tapi tidak juga karena mama selalu menanyakan 'dimana adek? adek udah makan?' atau beberapa kali marah padaku karena aku keluar rumah tanpa mengajak adikku yang satu itu, untuk mencari kebebasan.

Apa-apaan, dia sudah tujuh belas tahun bukan seperti Riki; adik baruku (ya adiknya juga sih) yang masih enam tahun.

Raiga seharusnya sudah bisa main sendiri, atau setidaknya main boneka saja dengan Kai sana! Dasar menyebalkan.

Mungkin dari banyak hal yang tidak aku permasalahkan, punya adik adalah hal yang menyusahkan, menyebalkan dan membuatku kerepotan. Tidak Rai, tidak Riki; keduanya sama saja, tapi lebih susah mengurus Rai si bayi besar karena Riki lebih sering dititipkan di rumah asuh semacam baby care daripada diasuh olehku. Yeah, mungkin mama pikir tidak ada orang di rumah yang bisa melakukan ini itu untuk Riki, padahal ketika aku seumuran dia; aku sudah sanggup jungkir balik di sungai. Maklum saja, aku rasa dunia masa kecilku sangat ajaib di Indonesia.

Dan hari ini, Rai tidak keluar untuk sarapan sementara ayah dan mama hanya punya sedikit waktu di pagi hari. Daripada membujuknya turun ke lantai bawah untuk sarapan, mereka lebih memberi kepercayaan padaku untuk mengambil alih.

Dan yaah aku tidak akan basa-basi dengan adikku sendiri. Gayung yang terisi air, panci dengan spatula beserta toa sudah siap, Here we go ....

***
.

.

.

.

CONTRITION
Oleh: HimawariNa
Start: 012421

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang