Chapter 19.

476 71 9
                                    

Terhitung hampir dua pekan setelah Rai keluar dari rumah sakit; sejak kami mengobrol banyak layaknya saudara yang sangat akur.

Kali itu dia banyak bicara dan bercerita; tidak seperti biasanya. Hal itu masih berlanjut sampai sekarang; Rai lebih banyak bicara denganku, kadang mengobrol dengan ayah tentang film kesukaan, kadang bangun lebih awal hanya untuk menonton mama masak, bermain dengan Riki, banyak menanggapi candaan Daniel, bicara dengan Kai tentang dinosaurus, tertawa dengan Avian dan kadang juga bertanya trik sulap pada Danish.

Tidak sampai di situ, bahkan Rai tersenyum pada Jimi yang dibalas dengan smirk menyebalkan. Lalu mengobrol dengan Teo tentang mesin, karena Teo memang punya bakat di bidang itu.

Rai malah semakin akrab dengan teman-temanku, kemarin dia bahkan tersenyum selebar Jay. Sebelumnya aku tidak tahu apa yang mereka bahas sampai semenyenangkan itu.

Kemudian sehari setelahnya Jay memberitahuku, kalau dia menceritakan hal-hal yang sering aku lakukan, komplit dengan hal-hal bodoh juga tanpa disensor. Bahkan kejadian dimana aku mabuk dan ditampar wanita di club malam juga diceritakannya.

Ah, kesal sekali. Padahal seharusnya tidak usah keterlaluan begitu, cukup ceritakan yang baik-baik saja. Misalnya tentang betapa banyak wanita yang bertekuk lutut padaku, itu lebih baik.

Namun sialnya ingatan yang muncul malah kejadian diamana aku diselingkuhi dan yang buruk-buruk lainnya. Kurang ajar, rasanya seperti aku menelan empedu; pahit sekali.

Ah sudahlah. Aku cukup tahu kalau ternyata yang Rai senyumi dengan begitu lebar adalah kebodohanku, setidaknya sampai Jay mengatakan hal lain.

"Rai bilang, lo beneran jadi saudara yang baik Je. Dia juga bilang nggak pernah sedetik pun merasa nggak beruntung dilahirkan sebagai seorang Raiga Alexander. Gue senang banget liat adek lo senyum setulus itu, nggak pasang muka tembok lagi. Jadi lebih ganteng dari lo 'kan." Katanya yang fia tutup dengan tawa jenaka.

Sialan. Ketika aku mengingatnya lagi hari ini, mataku tidak bisa untuk tidak berkeringat.

Doain seorang Jevian juga ya, biar bisa seikhlas Seorang Raiga. Karena sumpah, aku yang selalu mengatakan akan selalu menjalani semuanya dengan senang hati, adalah orang yang paling susah merasa rela. Jadi aku selalu susah payah menanam kata 'akan menjalani semuanya dengan senang hati' haha hihi kesana kemari bersama tiga orang 'kampret' (yang sialnya menyelamatkan hari-hariku) hanya untuk melapangkan hati.

Kadang aku bertanya-tanya, seperti gimana sih, jadi orang yang legowo sama takdir? Kadang juga menurutku menjadi seperti itu mustahil dipelajari tanpa menyakiti diri sendiri.

Aku terlalu pengecut untuk sekedar mencicipi rasa sakit supaya bisa memulai hidup baru sepeti yang ayah katakan. Jadi, yang kulakuan selama ini sepertinya hanya terus-terusan sembunyi di dalam dunia yang kekanak-kanakan bersama Jimi, Jay dan Teo. Kami berempat dalah orang-orang yang selalu percaya dengan kata-kata 'bahagia itu kita yang buat' dengan cara kami sendiri. Memang benar, tapi sepertinya kami agak lupa kalau bahagia yang hanya tentang diri sendiri adalah sesuatu yang sesaat.

Maaf Rai, seorang Jevian ini ternyata lebih lemah dari seorang Raiga.

"Bang, bisa bantu mama ambil kompresan ke bawah?"

Aku tersadar ditengah lamunan ketika mama tiba-tiba masuk ke kamarku.
"Siapa yang demam emangnya, ma?"

Jantungku selalu berpacu lebih cepat ketika hal-hal seperti ini terjadi.

"Riki tuh. Panas banget badannya, ngerengek terus kalau ditinggal. Pilek palingan," jawab Mama.

Maaf Riki, bukan maksudku menjadi kurang ajar. Tapi aku menghela napas lega tanpa sadar, lalu buru-buru turun ke lantai bawah untuk menyiapkan alat kompresan, lalu berjalan cepat menuju kamar mama.

Ternayata Rai sudah di sana dengan Riki yang tertidur gelisah di dada Rai.

"Dibaringin coba dek, biar dikompres dulu." Pinta mama kepada Rai.

Tangannya bergerak memindahkan Riki untuk tiduran di kasur, lalu dia duduk pelan-pelan.
"Biar aku aja yang kompres ma."

Mama mengangguk.
"Yaudah, kalau gitu mama buatin Riki bubur dulu ya"

Aku dan Rai meng-iya-kan, lalu aku bergerak lebih cepat untuk mengompres Riki.
"Gue aja, lo baring lagi sana!" Ucapku.

Rai malah berdecak, lalu berbaring lagi dengan tangan yang sibuk mengusap dada Riki karena terbatuk-batuk.

Cukup lama aku mengompres kening Riki sampai kami bertiga tertidur melintang di kasur yang sama.

Sepertinya sampai Sore, ketika ada yang memukul wajahku dengan ponsel. Sungguh cara membangunkan yang paling epic. Dan pelakunya adalah Riki, dia sudah aktiv seperti biasa walau masih ada rona pucat di wajahnya.

Tanganku bergerak menyentuh keningnya; untuk mengukur suhu tubuh, dan syukurlah panasnya sudah turun.
"Good job, Riki." ucapku yang hanya dibalanya dengan hehe, memamerkan giginya yang ompong di sana-sini.

"Wake up, wake up." Celoteh Riki sambil menarik-narik jari-jari Rai.

Pilih kasih sekali Kamu dek, tadi abangmu yang satu ini kau pukul wajahnya dengan ponsel lalu abangmu yang itu kau bangunkan dengan manis.

Sayangnya Rai tidak terusik, bahkan ketika Riki mulai brutal menarik ujung kaos disertai celotehan yang tidak jelas. Bahkan ketika aku ikut membangunkan dengan mengguncang bahunya pelan, Rai tetap tidak terusik.

Aku yang terusik, mulai panik dan hampir gila.

Kemudian si bodoh itu bangun sebelum aku benar-benar beranjak untuk memanggil mama. Sontak aku memegangi dada, memastikan apakah jantungku maaih ditempat atau sudah pindah ke lutut.

"Apaan sih-"

"Oh, Riki. You was wake up? How's yor feeling?"

Begitu katanya setelah membuatku panik, ya Tuhan. How's you feeling, how's you feeling. For God sake, I'm shaking jus't for nothing!

I almous die for some seconds before, you know?

Sial, aku ingin mengumpat. Bahkan untuk menyuarakan apa yang berkecamuk di dalam kepalaku saja, aku tidak sanggup.

Hal-hal seperti ini selalu terjadi, aku agak lelah dengan rasa panikku yang kadang tak berdasar.
"Kenapa lo dibangunin susah amat sih, setan!" bentakku masih kesal.

Sementara yang aku bentak masih betah mengerjapkan mata; tidak sadar dengan perbuatannya.

Aku masih berdiri dengan mulut sedikit terbuka, masih mencoba memproses apa yang baru terjadi. Lalu aku benar-benar tersadar kalau hanya Rai yang tidur terlalu nyeyak, hanya aku yang terlalu berlebihan.

Bahwa semuanya akan baik-baik saja, Rai masih di sini bersama kami. Bahkan sekarang dia tertawa-tawa saat Riki bergerak di dekat tengkuknya.

Lebih dari itu semua, aku jadi kesal kesal karena Rai berani-beraninya membuatku hampir gila sendiri.

"Lain kali kalau dibangunin, tolong langsung bangun Rai." Kataku pelan, lalu dua adikku itu hanya menatapku aneh, sementara aku sudah tidak tahu hendak apa lantas berjalan cepat menuju pintu untuk keluar.

Tidak ada suara dari Rai bahkan sampai aku membanting pintu kamar, dia mungkin tak bergeming. Barangkali juga bingung sama sepertiku, tapi tolong percaya kalau barusan aku sangat takut. Kau harus tahu itu.

***

Kolom Support untuk Jevian, haha.
tell him that he did well as a best big brother ...

Hi ... Thank you for being nice readers!!
Good night :)
Big love, Nana💜

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang