Chapter 11.

581 89 5
                                    

Masih dihari yang sama hari ketika aku begitu mencemaskan Rai. Mama belum memberi kabar saat aku mendengar pintu diketuk beberapa kali.

Dan ternyata Jimi yang datang. Dia tersenyum dan menyapa Niki dengan ramah.

"Tumben takut di rumah sendiri?" katanya setelah meletakakan rokok, agaknya dia tau diri untuk tidak merokok di dekat Niki.

Aku berdecak sebal lalu menyodorkan sekaleng Cola yang ku dapatkan dari kulkas.
"bukannya takut, Rai dibawa ke rumah sakit. Jadi, gue panggil lo ke sini siapa tau gue harus nyusul dan tugas lo jagain Niki."

Jimi mengangguk-angguk, setelah menegok Cola pemberianku.
"Sakit kepalanya separah itu emang?"

"Nggak tau juga, gue pun bingung kok sampe segitunya." jawabku putus asa seraya mendudukkan diri di sebelah Jimi. Sedangkan Niki bermain lego di lantai.

Jimin tidak menjawab lagi, jadi aku lanjut bersuara.
"lo tumben bisa dihubungin malam-malam gini?"

Yang ditanya tidak lantas menjawab. Dia meletakkan kaleng Colanya di meja kecil lalu mengangkat sedikit bahunya.
"I'm young and free you know? Bisa kemana aja dan kapan aja sesuka gue. Apalagi kalau lo yang minta gue datang."

Aku mengernyit bingung.
"Apalagi kalau gue?"

Jimi berdeham sebentar, seperti salah tingkah lalu menjawab terburu-buru.
"Apalagi kalau temen-temen gue, makaudnya. Lo kan temen gue juga 'kan?"

Oh, aku paham. Jadi hanya mengangguk saja. Memang sih, diantara kami semua (sepenglihatanku) Jimi adalah teman yang paling mudah dihubungi, dia setia dan loyal. Kalau soal loyal  jangan ditanya lagi. Dia menghabiskan uang seolah tidak membutuhkannya.

Aku percaya keluarganya sangat kaya, apalagi dia anak satu-satunya dengan orangtua yang sama-sama tokoh penting di perusahaan. Tidak heran jika dia bisa saja memberi mobil hanya karena kita mebantunya membuka tutup Vodka.

Ada juga orang kaya yang kurang kerjaan seperti Jimi; menghabiskan masa muda dengan hidup luntang-lantung tidak jelas sementara seharusnya dia sedang belajar ekonomi dan bisnis di kampus ternama.

Saat ditanya apa alasannya, dengan sombong dia mengatakan bahwa sudah punga banyak uang, lalu masadepannya sudah cerah sebagai pemegang saham terbesar ketika sudah siap nanti. Yang dia tidak punya hanya kesenangan dan teman, begitu katanya.

Lama aku berbincang dengan Jimi, membahas masalalu kami yang kebanyakan diisi oleh kisah kami berdua. Sampai-sampai aku lupa menghubungi ayah atau sekedar menanyai ayah.

"Jim, boleh pinjam ponsel?" tanyaku saat sadar kalau ponselku tertinggal di lantai atas, malas sekali mengambilnya.

Dia melempar ponsel mahalnya begitu saja padaku, tapi bukan tindakannya itu yang membuatku merasa aneh; malah lock screennya, di sana ada foto kami berdua ketika kami naik gunung dulu, lalu wallpaper ponselnya pun ada foto kami berdua. Aneh juga anak ini, aku tidak menyangka dia senarsis ini. Tapi kenapa fotoku juga? Ada-ada saja.

"wallpaper sama lock screen lo narsis amat deh. Gue nggak pernah tau kita pernah foto gitu" komentarku sambil terkekeh setelah mengirim pesan pada ayah.

Jimi merebut ponselnya dariku dengan agak kasar, aku pikir dia kesal karena aku menertawainya. Tapi kata-katanya yang terbata dan deheman gugup itu, aku tidak tahu apa artinya.
"ya- ya biarin lah. Harusnya lo bersyukur gue pasang foto kita berdua di wallpaper."

Aku tidak menanggapi lagi, takutnya perdebatan kami tidak akan ada habisnya.

Aku menidurkan Niki di sofa, karena kelelahan bermain. Lalu Jimi pulang jam sebelas malam; setelah mama memberi kabar kalau Rai tidak perlu dirawat, hanya diberi obat dan melakukan serangkaian pemeriksaan MRI.

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang