Chapter 01.

1.5K 157 16
                                    

  Ternyata semua alat yang kubawa untuk membangunkan Rai sama sekali tidak terpakai, dia langsung bangun ketika aku memintanya bangun.

Dia membuka mata seolah hanya memejamkannya, seperti tidak tidur semalaman. Apa dia begadang dan tidak tau diri bahwa dia harus pergi ke sekolah hari ini?

Who's know?

"bangun oi, gatau apa udah pagi!" kataku sambil menarik selimut setelah membuka tirai kamarnya.

Tapi, tampaknya anak ini ingin bermalas-malasan lebih lama lagi. Dia menarik kembali selimutnya dengan kuat; membuat aku yang tidak siap menerima perlawanan jadi ikut jatuh ke kasur dan menumpu berat badanku di tangan yang menekan perutnya.

"argh!" Erangnya kesakitan. Sementara aku cepat-cepat bangun dengan sedikit merasa bersalah.

Rai tampak kesusahan untuk menegakkan badan, apa sesakit itu? Ya mungkin aku keterlaluan. Tanpa sadar, aku membantunya duduk dan bersandar pada ranjang.
"Sori, Sori. Ga sengaja, lo sih kesiangan. Kan jadi sial" alasanku.

"berisik!"

Katanya.

WAH, ternyata adikku satu ini bisa kesal juga. Apa barusan dia mengumpat padaku? Seru sekali, aku pikir selama ini dia tidak punya emosi, setelah menangis seperti orang gila di depan ruang persidangan saat perceraian mama dan papa.

"DIH, gitu aja marah. Lebay lo!"
Cibirku yang disambutnya dengan decihan.

Dia tidak tahu saja bagaimana cara mama membangunkanku setiap hari; tidak sah kalau tidak basah dan aku tidak pernah marah, tuh!

Tapi siapa yang peduli, Rai  juga tidak peduli. Dia hanya melengos lalu berjalan ke kamar mandi, sepertinya mau mandi.

Tidak tahu kenapa aku malah memperhatikan kamarnya yang membosankan ini, tidak ada poster band rocker, tidak ada lukisan. Hanya ada komputer dan alat-alat untuk membuat musik? Entahlah, aku tidak paham. Yang aku pahami hanya sepertinya dia suka musik.

Mungkin juga itu penyebab dia betah di kamar seharian, semalaman, mungkin juga tidak tidur.

Sampai dia selesai mandi dan berpakaian rapi pun aku masih di sana, duduk di atas kasur Rai  sebelum akhirnya dihadiahi tatapan bertanya sekaligus pengusiran.

Yang ini aku mengerti, Rai tidak suka ada orang di kamarnya yang suram ini.

"makan lo, mama udah masak." kataku sok mengurusinya.

Namun yang kudapati hanya anggukan. Maaf ya, aku tidak tahu bagaimana untuk bersikap lembut karena kelembutan tidak ada dalam kamusku dan juga, aku tidak suka anak manja yang ini dan itu harus diingatkan.

Makan saja harus diingatkan, aku tidak suka sikapnya yang seperti itu.
Jadi aku agak jengkel dan malah menariknya agak kuat.
"cepetan, lama banget sih lo. Mama kasi amanah buat gue supaya ngurusin anak manjanya ini."

Sepertinya Rai juga marah, terbukti dengan dia yang menepis tanganku juga dengan kuat.
"kenapa sih lo harus narik tangan gue!"
Bentaknya dengan nada tinggi.

Tapi maaf lagi nih, aku tidak suka anak yang cengeng. bahkan hanya untuk bertengkar kecil begini dia berkaca-kaca.

Sama sekali tidak meluluhkanku, tidak tau kenapa hal-hal seperti ini malah membuatku emosi sampai tanpa sengaja malah menariknya sampai ke lantai bawah dengan begitu kasar.

"LEPASIN GUE!" teriaknya.

"MAKANYA DIEM BANGSAT! GAUSAH MANJA!"
Balasku tanpa rasa kasihan, padahal pergelangan tangannya sudah merah karena kucengkran.

Bagus, sekarang rumah hanya dipenuhi oleh teriakan kami berdua.

Aku mendudukkannya di bangku ruang makan, lalu menyuapkan dengan kasar sandwich buatan mama  ke dalam mulutnya. Berkali-kali Rai sepertinya ingin berteriak, tapi aku tidak peduli.

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang