Entah bagaimana akhirnya aku dan Rai tertidur. Tapi setahuku, sudah berjam-jam aku berlarian dengan Rai di lapangan bola depan kontrakan kami di Indonesia.
Aku bisa melihat Rai tertawa-tawa saat aku mengoper bola padanya, sementara matahari sore kala itu bersinar sendu; cerah, namun tidak membuat gerah. Tepian bola api raksasa itu hampir tenggelam ditelan pohon-pohon mangga pak Raden; tetangga kami.
Aku juga ikut tertawa, rasanya sangat menyenangkan walaupun hanya main berdua. Apalagi saat mengingat kalau mama akan pulang kerja sambil membawa kue yang tidak habis terjual; dari dekat tempatnya bekerja.
Aku masih tertawa sampai Rai menoleh padaku ditengah larinya yang seakan melambat, kemudian berubah jadi Rai kecil.
Sekarang Rai kecil tertawa lebar meski matanya berair, lalu aku melihat sudut bibirnya terluka, kakinya ada memar dimana-mana, tangan kanan juga memar, lalu pakaiannya berubah jadi lusuh dengan bekas telapak kaki di bagian perut dan dada. Aku mengejarnya cepat, mau bertanya dia kenapa. Tapi Rai masih barlari dengan tawa yang malah berubah dari erangan sakit.
"Argh ..."
Aku terbangun.
Hanya mimpi.
Tapi suara eranggan itu nyata, Rai benar-benar kesakitan di sebelahku.
"Rai! Raiga! Kenapa?" tanyaku bodoh.
Rai tidak menjawab, sementara tangannya masih menarik-narik rambut sendiri. Aku berusaha menggenggam tangannya, supaya tidak semakin berutal.
"Sakit, kepala gue." katanya lemah.Aku memposisikan Rai supaya menjadikan kakiku sebagai bantalan, sementara lenganku menahan kedua tangannya supaya tetap tenang.
"Iya, iya. Jangan ditarik rambutnya, tenang dulu. tarik napas dulu terus keluarin pelan-pelan." Pintaku yang berusaha keras diikuti oleh Rai.
Tubuhnya sudah dipenuhi oleh keringat, sementara isakan kecil terus lolos dari mulutnya. Rai gemetaran seraya terus mencoba untuk tenang.
Sekitar limabelas menit berlalalu tanpa perubahan, semuanya tetap buruk; Rai tidak menunjukan tanda kalau sakitnya mereda selain raganya yang mulai melemas kehabisan tenaga.
Serius, aku tidak bisa menunggu lagi, tidak bisa untuk tetap mengendalikan diri untuk tidak berteriak; mengusahakan bantuan apa saja yang bisa kudapatkan di jam dua pagi begini.
Aku tidak bisa banyak mengingat bagaimana akhirnya kami; aku, Rai dan Ayah sampai di UGD, lalu beralih ke IGD dan berakhir di ICU.
Semua yang terjadi seakan hanya potongan-potongan puzzle yang beterbangan di hadapanku dengan begitu kacau.
Seingatku mama menagis; bersikeras ingin ikut, Riki juga sama, lalu entah bagaimana cara Ayah membujuk mereka untuk tetap tinggal di rumah. Aku tidak peduli, karena demi Tuhan yang ada di kepalaku hanya Rai dan rasa takut yang mencekik. Sampai-sampai aku harus mengusap dadanya yang terbaring di pangkuanku; hanya untuk memastikan organ di dalam sana masih berdetak, menggenggam pergelangan tangannya seperti kami akan melompat dari gedung tertinggi; hanya untuk memastikan ada kehidupan di nadinya.
Demi Tuhan, aku takut sekali.
Pukul lima pagi ketika langit masih gelap, Chicago terasa dingin meski ini musim panas, lorong rumah sakit begitu sepi saat itu. Aku masih di sana, duduk di depan ruang ICU dengan kepala tertunduk sementara hatiku begitu kosong, seperti aku kehilangan separuh dari diri sendiri.
Ayah ada di sana, terus menepuk bahuku; berusaha menenangkan. Dia bilang ini bukanlah apa-apa, bukanlah sesuatu yang bahaya atau bukanlah masalah untuk Rai. Katanya Rai itu anak yang kuat, dia pasti bisa menahannya.
Aku mengangguk, berusaha untuk memikirkan hal yang sama walau kata-kata ayah terdengar begitu jujur dan akupun sangat percaya. Aku selalu percaya kalau adikku yang sedang terbaring dengan detak lemah di dalam sana adalah sosok yang kuat, tapi entah kenapa sinar matahari sore dalam mimpiku itu agak menakutkan; seolah berusaha membuatku rela atas kemungkinan apa saja.
Aku masih setia menatap lantai ketika seorang dokter berdiri tepat dihadapanku dan ayah.
Kalau tidak salah namanya Naren, seorang dokter berkebangsaan Korea selatan yang punya segudang prestasi. Selama ini dokter Naren adalah salah satu dokter yang ikut manangani Rai selama menjalani pengobatan.
Dokter Naren tersenyum tipis kepadaku. Lalu berbicara dengan ayah menggunakan bahasa Korea, jadi tidak ada yang bisa kumengerti bahkan sampai dokter Naren menepuk bahu ayah dengan raut yang tidak melegakan sama sekali, lalu pergi begitu saja.
Ayah tersenyum lembut padaku seperti biasa, setenang biasanya dikala aku sendiri setengah mati mengontrol diri.
"kali ini ayah akan bicara pada kamu sebagai seorang laki-laki dewasa." begitu katanya memulai.
"Dokter Naren bilang, Rai kritis, sempat muntah darah juga. Kesadarannya terus menurun, Kanker itu sudah merenggut banyak syaraf sampai ke sensorik dan motorik-"
Aku tidak bisa mendengar banyak sementara telingaku seperti dipenuhi dengung. Walaupun Ayah menjelaskannya dengan begitu rinci, pelan-pelan; berusaha meninggikan harapan agar aku bisa mengerti dengan tegar, pada akhirnya yang masuk ke dalam pengertianku hanya satu;
Ayah, Mama, Riki dan aku; Kami semua harus merelakan Rai jika operasinya gagal, selanjutnya Rai memiliki resiko mati otak, kemudian dokter akan dengan berat hati menyarankan untuk melepas semua alat penunjang kehidupan yang menempel di tubuh kurusnya.
Dengan begitu, percakapan kami malam tadi menjadi yang terakhir kalinya.Masih kupertanyakan kenyataan ini.
Sungguh aku tidak bisa!
Cara seperti ini adalah yang paling menyakitkan dalam hidupku.
Seperti jantungku ditarik paksa dari dalam dada, seandainya itu cukup untuk menggambarkan kehancuranku.Aku menggeleng rusuh dengan airmata yang tiba-tiba saja luruh. Bagaimana bisa ada pilihan sekejam ini? Aku adalah seorang kakak, aku tidak bisa kehilangan adikku satu itu.
Kami berdua sudah bersama-sama melewati kehancuran selama ini, meski tak sejalan karena keegoisanku sendiri, tapi meski begitu; aku tidak ajan pernah bisa kehilangan Rai.
Memintaku untuk menyetujui perkataan dokter Naren, kemudian melepas alat penunjang kehidupan pada Rai? Sama saja membunuhnya.
Aku tidak bisa, maka aku protes pada ayah.
Lalu ayah mengangguk kemudian merengkuhku sangat erat.
"Iya, iya. Ayah tahu, demi Tuhan ayah sangat menyayangi kalian. Kamu harus tahu Jevian, saya seorang ayah untuk kalian; bagimana saya bisa menyaksikan putra saya sendiri mendahului saya, ini pun sangat berat bagi saya. Kalau memang perlu, ayah akan datangkan seluruh dokter terhebat untuk Rai, tapi kita tidak bisa untuk tidak melibatkan Kuasa Tuhan di sini."Tidak ada kata-kata yang bisa kuucapkan untuk membalas perkataan ayah, selanjutnya kami menangis di depan ruang ICU sebagai laki-laki dewasa.
Cukup lama sampai ayah memintaku untuk masuk ke dalam ruangan, tapi aku menolak. Biarkan ayah yang masuk, karena aku tidak bisa berjanji bisa berdiri di atas kaki ku sendiri ketika bertemu Rai saat ini.
Ayah memaklumi, jadi dia masuk setelah menelpon mama.
Sementara aku melangkah ke kapel di dekat rumah sakit ini. Untuk kembali bernegosiasi, kalau memang perlu; akan ku pertaruhkan semua yang kupunya hanya supaya Rai kembali walau hanya untuk membenciku seumur hidupnya.
***
.
.
Hi, thank you for being nice readers!!
Akhirnya aku bisa kembali ke aktivitas semula sdjkhgxvll, sorry untuk update yang sangat lama!.Oya, aku mau tanya sesuatu. Apa chapter 19 ada? Soalnya di aku nggak terupdate, sumpah wattpad kenapa sii??
Terima kasih sudah membaca.
Big Love, Nana🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
CONTRITION
FanfictionDitulis Oleh Jevian Alexander dari beberapa catatan acak yang pernah sempat diabadikan kepada adiknya, Raiga Alexander. ©HimawariNa | CONTRITION 2020