Chapter 05.

679 109 9
                                    

Hari ini adalah senin sore, sehari setelah pertamakalinya aku sedikit mengenalkan dunia pada Raiga. 

Tidak banyak hal yang berubah. dia kembali seperti biasa seolah-oleh lupa telah kesetanan, masih seperti biasa; pergi sekolah lalu masuk kamar ketika pulang, kemarin dia pergi ke gereja dan pulang dengan kue kering di tangan yang dia berikan pada Riki.

Ngomong-ngomong soal Niki, dia masih di baby care dan akan dijemput oleh mama sebentar lagi, jadi sekarang sepertinya tidak ada orang di rumah sebelum sayup-sayup aku mendengar musik dari lantai dua, itu Raiga, ternyata sudah pulang. Sepertinya menyenangkan jika mengganggunya, semoga ini tidak menjadi masalah.

Maksud hati aku ingin mengagetkan Raiga, tapi malah aku yang kaget mendapati dia tergeletak di samping tempat tidur dengan seragam masih melekat di tubuhnya. Pingsan.

Cepat-cepat aku menghampirinya. Tapi kali ini aku masih ingat untuk tenang.

"Rai, hey!"
panggilku agak panik.

Dia mengerjap beberapa kali, lalu memijat kening; agak meremat lebih tepatnya.
"hm?" gumamnya.

"ngapain tidur di lantai gini?" tanyaku sambil membantunya naik ke tempat tidur.

Lalu dia membuka jaketnya, masih dengan wajah terpejam.
"gue migrain."

"yakali migrain harus tidur dilantai? Padahal lo masih sempat nyalain sound" kataku.

Raiga tidak bereaksi banyak dan malah membaringkan diri di tempat tidur.
"soundnya bisa aktif sendiri kalau ada yang masuk, kecuali gue matiin"

Wah, aku tidak tahu kamarnya bisa sangat canggih. Dan apa rasa cintanya pada musik memang sebanyak ini?
"lo emang cinta mati sama musik ya?"

"musik itu udah jadi painkiller buat gue" jawabnya tanpa pernah aku duga.

Lalu Raiga sedikit meringis, sepertinya dia benar-benar kesakitan. Tidak tau kenapa tanganku bergerak memijat kepalanya, untung saja dia tidak protes padahal aku sudah siap-siap.
"lo emang suka sakit kepala gini?"

"hmm, kadang-kadang kalau banyak yang dipikirin."

"jendelanya mau gue bukain?" tawarku berusaha membuat suasana lebih baik.

Tapi kulihat dia menggeleng.
"nggak usah, orang migrain sensitif sama cahaya tau!" sautnya galak.

Oh, aku baru tahu. Yasudah, tidak ada percakapan lagi. Aku hanya mentap wajahnya yang memejamkam mata dengan tenang. Disaat seperti ini aku sering bertanya-tanya apa yang sedang dia pikirkan.

Dan semua itu tidak akan pernah kuketahui dengan hanya bertanya-tanya, bukan?

"mau gue suruh mama pulang?" tanyaku lagi, memecah keheningan.

Lagi-lagi Raiga menggeleng, memberi penolakan.
"nggak. Nanti kan pulang."

Dan kami kembali terdiam dalam hening, sementara matahari sudah beranjak menyisakan sedikit sinar yang susah payah masuk melalui celah-celah tirai. Aku teringat lagi dengan suasana di Indonesia, di rumah kami yang hanya memiliki teras sempit sememtara anak-anak akan ribut bermain bola ketika sore begini.

Aku pernah memecahkan jendela pak RT ketika itu, sementara Raiga hanya diam di rumah; menghabiskan waktu dengan crayon dan buku gambar. Lagi-lagi dunianya begitu sepi.

"dulu gue sering sakit kayak gini kan? Lo nungguin gue terus mama kerja. Kalau mama pulang biasanya dibawain bubur kacang."
Ucapnga panjang lebar dan tiba-tiba seperti biasa.

"lo mau bubur kacang? Tapi di sini nggak tau sih di mana belinya."

Dan Soobin kembali menggeleng untuk yang ketiga kalinya, memberiku penolakan lagi.
"nggak mau."

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang