Chapter 15.

578 78 6
                                    

Pagi yang cerah di hari minggu, untuk pertamakalinya aku pergi ke Gereja setelah sekian lama.

Rai menarik lengan kemejaku ketika sadar kalau aku berjalan agak ketinggalan. Lalu tanpa banyak berkata dia mengajakku masuk setelah mengambil air suci di depan pintu Gereja.

Sudah lama rasanya aku tidak mendengar suara lonceng gereja, namun rasanya tidak asing. Aku, seperti menemukan ketenangan yang entah bagaimana mendeskripsikkannya. Semacam rasa lega ketika kita sudah melakukan sesuatu.

Rai duduk dalam diam dan berdoa dengan tenang. Kami menunduk bersamaan saat Romo memberi berkat, lalu duduk kembali dengan tenang sambil mendengar lagu-lagu gereja yang dinyanyikan kelompok koor.

Prosesi berdoa mengalir seperti biasa, akupun mengikuti dengan hikmat sampai doa permohonan tiba, Saat itu aku melihat Rai berdoa dengan memejamkan mata; sangat lembut, seperti dia mengucapkan permohonan dari lubuk hati yang paling dalam, bahkan ketika aku selesai mengucap doa yang isinya hanya untuk kesehatan dan kebahagiannya, dia masih diposisi yang sama.

Pada titik ini aku penasaran apa yang sedang dia ajukan kepada Tuhan.
Lalu apa yang dia pikirkan ketika melihat anak-anak kecil mengantri untuk mendapat berkat ke altar, dia menatap dengan mata sendu dan bibir tersenyum tipis.

Tapi seperti biasa, semua pertanyaan itu hanya bisa kupikirkan; tidak pernah diutarakan. Bahkan sampai kami berdua selesai berdoa dan Rai membeli Cookies dengan tersenyum; aku tidak bicara sama sekali.

"Lo biasanya pergi sendiri?"
Barulah aku bertanya ketika kami berjalan di persimpangan jalan dekat rumah.

Dan Rai mengangguk, mengundang tanya lagi dariku.
"nggak pergi sama Kai?"

Dia menggeleng lagi, tapi kali ini diiringi jawaban lisan.
"Enggak, Kai ke Gereja yang lain."

Singkat sekali.

"Ah, sama kayak Teo sama Daniel"
Aku jadi terpaksa harus bicara tidak jelas kali ini. Bodo amat jika Rai akan bertanya 'siapa?' terus aku akan bilang 'temen gue' terus dia bakalan jawab 'yang nanya ...'

Rai mengangguk, tidak seperti apa yang aku bayangkan. Lagipula siapa sih yang masih melakukan candaan receh begitu kalau bukan seorang Jevian.

"Daniel  bilang kemarin kampung halaman mereka sama kayak ayah kan?"

Aku mengernyit, sedikit tidak paham dengan pertanyaan Rai yang seharusnya bukan pertanyaan.

Dia berdecak melihat reaksiku.
"Ilsan!"

Ah, aku mengerti.
"iya, Danielnya."

Giliran Rai yang tidak mengerti.
"ha? Maksudnya gimana?"
Dia sampai mengambil sekeping kukis, kemudian memasukkannya ke dalam mulut tanpa basa basi; sukses mengundang reaksiku.

"heh! Lo belum cuci tangan, main makan aja" omelku sekalian memberinya pelototan, mirip seperti ibu dari bayi nakal.

Sementara Rai hanya berdecak.
"Ck! Biarin aja sih. Udah gue lap juga tangan gue." katanya sambil mengusap tangannya ke baju, persis anak kecil.

Aku mengalah sajalah daripada kami bersitengang di jalan.

"lanjutin" pintanya lagi saat tidak ada lagi yang bersuara, meminta aku untuk melanjutkan ghibah- ah maksudku storytelling tentang Teo dan Daniel.

"Teo sama Daniel itu kayak kita sama Riki" jawabku simple, malas terlalu ribet. Biarkan saja Rai memikirkan maksudku.

"Unik juga. Kayak kita, ayah dari Kosel terus mama dari Indonesia ... Tau-taunya malah tinggal di sini."

Aku mengangguk, menyetujui ucapan Rai. Tidak ada kehidupan yang lebih riweh dari ini, tapi juga tidak semua orang bisa merasakannya, yasudahlah anggap saja kami beruntung.

Ada beberapa saat dimana aku mengandai-andai jika kami tidak pindah dan hidup di sini.
"kalau misalnya kita tetep tinggal di Indonesia, dan semuanya nggak seribet ini ..."
Akankah semuanya jadi lebih baik?
Tapi aku enggan melanjutkan ucapanku; tidak ingin menjadi orang yang pesimis di depan Rai.
"lo pasti nggak tumbuh setinggi ini." lanjutku tak singkron.

Rai tau apa yang kumaksud, dia bukan anak kecil lagi dan aku sadar itu. Makanya dia memalingkan wajah, mungkin jengah dengan kebohongan yang terus terlihat jelas ini.
"Nggak ada yang berubah, tapi kemungkinan lebih buruk pasti ada juga." jawabnya seraya memelankan langkah.

"Apalagi kelakuan lo gini!" lanjutnya seolah harga diriku sebagai seorang kakak sudah lenyap jatuh ke selokan.

Aku menjitak pelan puncak kepalanya yang susah payah kuraih.
"kurang ajar lo jadi adek!"

Rai tidak menunjukan banyak reaksi, seolah dia tahu tanpa melawan pun pasti menang dariku.
"lo juga kurang ajar jadi abang, main jitak aja kepala gue!"

Yasudahlah, kembali aku saja yang mengalah. Daripada membuat keributan, lebih baik diam saja.

"hari minggu mau ngapain?"
Tanyaku memuali lagi. Sepertinya inisiatifku meningkat pesat.

"nggak tau, gue belum punya rencana."

Aku memutar otak, kira-kira kegiatan apa yang bisa kami lakukan untuk membunuh rasa bosan.
"Main bola aja lah, mau nggak?" usulku.

Sayangnya gayung tak bersambut; Rai menggeleng, pertanda dia tidak setuju.

"ya terus lo mau ngapain? Naik gunung? Nyelam liat terumbu karang?"

Rai mengangguk, membuatku kehilangan kata.

"tapi nggak mungkin kan?" tanyanya putus asa, dan aku kembali meng-iya-kan dalam hati. Aku benci saat-saat seperti ini, ketika banyak hal sepele menjadi tidak mungkin untuk Rai.

"Ah, gimana kalau ke aquarium aja!" usulnya dengan semangat, kontras sekali dengan perkiraanku yang mengira bahwa dia akan sedih.

Aku mengangguk, agak cepat mengambil langkah saat pekarangan kami sudah terlihat.
"Sip. Ntar gue bilang ayah!"

Dan benar saja, hari minggu itu kami menghabiskan waktu di aquarium kota untuk melihat paus beluga.

Aku menggendong Riki yang sangat antusias melihat ikan, Rai juga banyak tersenyum hari itu. Dia bilang rasanya seperti menyelam meski tidak ada terumbu karang. Sementara ayah dan mama entah pergi ke mana, biarkan sajalah mereka kembali ke masa muda; pergi berdua, pacaran lagi.

Kemudian perkataan Rai tiba-tiba mecubit hatiku, ketika kami dalam perjalanan pulang.
"kalau kayak gini, nggak sempat nyelam buat liat terumbu karang juga nggak apa-apa."

Saat itu langit sudah gelap dan suasana mobil yang kami kendarai agak ramai oleh derai tawa karena tingkah Riki yang terus-terusan meniru kepiting dengan berusaha membuat wajahnya jadi jelek.

Dan hanya aku yang sadar kalau Rai semakin pandai membicarakan hal-hal tidak berguna, memperhitungkan banyak hal yang tidak mungkin baginya kemudian setengah mati membuat dirinya jadi tegar, membuat dirinya seolah mau melepas kegusaran yang mungkin semakin mencekik.

Saat itu aku tidak bisa berbuat banyak, selain pura-pura merangkulnya hanya untuk memperlihatkan matahari terbenam.

***






Hi ... Thank you for being nice readers!
Big Love, Nana💜

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang