Aku banyak membaca, banyak belajar tentang siklus bagaimana glioblastoma menyebar dan bagaimana penanganannya ketika kambuh.
Aku pikir akan terbiasa ketika melihat Rai meringis, memukul-mukul kepalanya dengan berutal dengan mulut menggumamkan sakit sementara badannya dipenuhi keringat.
Aku tidak ingin menjadi bodoh lagi dengan bertanya apa dan dimana yang sakit.
"tenang dulu, atur napasnya. Sakitnya bakalan ilang sebentar lagi." kataku sambil menyandarkan badannya pada tempat tidur. Aku sama sekali tidak terbiasa ternyata, masih saja ikut panik.
"mau gue panggilin mama?" tanyaku sambil masih mengusap bahunya menenangkan.
Rai memggeleng kecil, tidak mengizinkannya. Dia selalu seperti ini, untung saja aku terbangun jam satu tadi, jadi ada yang menolongnya saat kesakitan. Sekarang jam empat Subuh jadi belum ada orang rumah yang bagun kecuali aku dan Rai.
Tahap awal pengobatan sudah dimulai seminggu yang lalu, aku tidak ikut mengantar karena menjaga Riki. Tapi mama memberitahuku kalau hari itu mereka melakukan konsultasi, lalu Rai pulang dengan wajah kelelahan seperti biasa lengkap sekantong obat ditangannya.
"tolong ambilin minum."
Aku terkesiap saat suara lemah Rai masuk ke gendang telinga. Tanpa banyak tanya lagi, aku bergeser mendekat ke nakas untuk meraih gelas berisi air di sana.
"perlu pereda nyerinya nggak?"
Tanyaku akhirnya.Rai menggeleng lagi. Lalu aku menyodorkan gelas berisi air itu kepadanya.
Salah satu hal darinya yang membuatku merasa adalah toleransi terhadap rasa sakit ternyata cukup tinggi. Ini hal yang bagus, setidaknya dia tidak akan merasa ketergantungan terhadap obat.
"udah mendingan?" tanyaku memastikan, lalu duduk disampingnya.
Dia membalas dengan anggukan.
"tapi jadi mual"Aku menidurkan kepalanya di bahuku. "gue harus ngapain biar lo bisa ngerasa nyaman? Mau gue ambilin air hangat?"
"nggak mau, pijitin kepala gue. Masih sakit."
Aku terkekeh mendengar suara ketus itu lagi, rasanya sudah cukup lama kami tidak bertengkar lagi karena Rai banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan Riki di hari liburnya, lalu diam di kamar dan sisanya kadang dia tidur karena kelelahan kalau tidak kesakitan. Sementara aku lebih banyak mencari tahu tentang glioblastoma, banyak berdiskusi dengan ayah dan sisanya kadang aku mengira-ngira apakah Rai sedang bisa diganggu atau tidak.
"panggil abang dulu dong." kataku mulai memancing keributan supaya suasana sedikit lebih asik.
Seperti biasa, Rai berdecak sebal dulu lalu aku agak menyesal telah merecokinya. Bukan karena dia marah, tapi karena menurut sangat cepat.
"bang Je, tolong."Aku yang bodoh, karena tidak tahu kalau dia sedang tidak punya banyak tenaga untuk meladeniku. Jadi tanganku mulai bergerak memijat kepalanya.
"sakit dari kapan?""nggak tau, kayaknya dari jam sepuluhan." jawabnya dengan mata terpejam, sementara aku beranjak duduk ke tempat tidur.
Ini serangan pertama setelah diaknosis pertama, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana; Rai jadi lebih ringkih karena susah makan, dia bilang mulutnya selalu pahit setelah menelan obat.
Semua orang rumah juga mati-matian untuk tetap tegar, termasuk aku. Kami semua berusaha membuat hari-hari terasa normal seperti biasa, berusaha membuat tidak satupun berubah untuk Rai.
Ayah membiarkan dia pergi ke perpustakaan kota sendiri, lalu mama juga membiarkan dia tetap belajar sampai larut walaupun sedang libur. Riki pun tetap rewel seperti biasa kendati memang dia tidak tahu apa-apa.
Sementara aku?
Tetap bekerja, tetap sarkas sebagai abang yang kejam diwaktu yang tepat, kadang mengikuti Rai diam-diam ketika dia menolak tawaranku untuk ikut. Aku berhenti mabuk di jalanan kota dan lupa dimana aku meletakkan rokok.Tidak apa-apa, semua itu kami lakukan supaya Rai merasa nyaman dan tidak merasa diperlakukan seperti orang lemah.
Berkali-kali Jay dan Teo mengajakku pergi bermain, tapi selalu kutolak. Dan anehnya Jimi sama sekali tidak menghubungiku.
"tidur gih, semalaman ga tidur kan?"
Rai malah nenyandarkan kepalanya di betisku yang menggantung dari tempat tidur.
"baring aja coba" tawarku.
Dia menggeleng pelan.
"lemes, gue ngumpulin tenaga dulu."Aku tidak bisa untuk menolak dan mempertahankan argumenku yang yakin kalau dia akan kedinginan kalau terus duduk di lantai.
Jadi aku menemani Rai sampai tidur di posisi itu, tidak bergerak sedikitpun supaya dia bisa istirahat dan mengangkat tubuhnya ke tempat tidur ketika dia sudah cukup terlelap.
Setelah itu yang aku lakukan hanya memandang wajahnya yang menyisakan kernyitan-kernyitan halus di dahi.
Rasanya seperti dulu aku menungguinya yang terserang demam lalu bangun-bangun malah minta es krim. Maaf dulu aku menjitak kepalamu, Rai; bukan karena tidak mau kau terus sakit, tapi aku yang keberatan menjagamu lagi.
Untuk sekarang semua itu tidak ada lagi. Aku akan di sini, menungguimu sampai kamu bangun; biar kau merasa aman.
Aku menepati janji dan subuh beralalu begitu saja. Tidak ada rasa kantuk walaupun terjaga lebih awal dari biasanya, aku beranjak ketika matahari mulai masuk dari celah tirai kamar Rai.
Sengaja, aku tidak mau dia tahu kalau aku menungguinya. Sekali lagi kami sudah sepakat untuk menjaga perasaannya.
Tentu aku tidak keberatan, toh selama ini juga dia yang selalu menekan perasaan.
Aktivitas pagi berlangsung seperti biasa, ayah dan mama pergi kerja, Riki dititipkan ke Baby care; mungkin sampai siang nanti. Lalu aku tidak pergi bekerja; harus ada orang yang bersama Rai di rumah, jadi kami tinggal di rumah secara bergantian.
"adek kamu mana bang?"
Tanya mama saat kakiku baru menginjak lantai dapur."masih tidur, baru tidur tadi subuh." jawabku sambil meraih gelas untuk minum.
"kenapa?"
Aku berhenti menuangkan air ke dalan gelas sebentar, lalu menoleh kapada mama yang sedang menyiapkan sarapan dengan Riki yang duduk anteng di kursi.
"kambuh semalaman."Binar wajah mama redup seketika, mungkin yang paling terpukul karena waktu yang akhirnya tiba ini adalah mama. Dia selalu merasa bersalah atas banyak hal belakangan ini.
"kamu nggak apa-apa ditinggal sama adek hari ini?"Aku mengangguk, lalu duduk di sebelah Riki.
"nggak apa-apa, ma." Kataku sambil sesekali merecoki Riki yang sibuk meminta ikan pagi-pagi begini."yaudah, maafin mama."
Aku mengangkat kepala untuk menatap matanya.
"nggak ada yang perlu minta maaf dan dimaafkan. Ayah kan yang selalu bilang kalau kita harus lupain masalalu demi masadepan yang lebih baik."Mama mengangguk, tentu mama hapal semua rumus itu. Katanya, dia menikahi Ayah karena ayah berhasil membuatnya yakin akan semua itu.
Lalu kami berempat memulai sarapan setelah ayah bergabung di meja makan dan sudah nertanya tentang keberadaan Rai, lalu aku menjawab seperti yang kukatakan kepada mama.
Pagi ini agak terasa aneh, karena bangku yang biasanya diduduki Rai kosong. Sebelumnya kami tidak pernah bertukar sapa di sini, tapi sekarang aku ingin dia duduk menikmati sarapan bersama seperti biasa. Walau dia mencebik atau berdecak padaku, tidak apa-apa.
***
Hi besties! Thank you for being nice readers.
Udah akhir semester, ujian bentar lagi dan laporan seolah mengejekku; dia berkata "heh! Tau diri dong, gue ini deadlinenya mepet. Lu malah masih leha-leha aja!"
Wkwkwk, pokoknya mungkin bakalan jarang update lagi, mana ini udah masuk chapter yang perlu banyak diedit. Ueueue😌
Stay safe everyone!
Big Love, Nana💜
KAMU SEDANG MEMBACA
CONTRITION
FanfictionDitulis Oleh Jevian Alexander dari beberapa catatan acak yang pernah sempat diabadikan kepada adiknya, Raiga Alexander. ©HimawariNa | CONTRITION 2020