Malam itu aku datang tergesa dengan kaki terasa tak menapaki pijakan. Aku, seperti berjalan di ladang ranjau dengan degup tak karuan.
Seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di depan ruang rawat Rai; dengan mata sembab dan tatap redup. Mataku berpendar mencari keberadaan mama atau ayah, tapi mereka tidak ada di sana.
Aku terdiam sampai Uncle Anton menepuk bahuku. Dia adik ayah, seorang Pilot dengan jam terbang yang begitu padat, ada di sini dengan wajah muram. Entah aku harus merasa senang atau malah sebaliknya.
"What Happened?" tanyaku dengan nada rendah.
Mati-matian aku berusaha berpikir jernih, mengatakan pada diriku sendiri kalau operasi Rai berjalan dengan baik makanya selesai lebih cepat, mengatakan pada diriku sendiri kalau orang-orang termasuk uncle Anton yang super sibuk berkumpul di sini, karena merasa senang kalau akhirnya Rai sembuh.Lalu, Rai akan menyambutku dengan decihan menyebalkan karena aku meninggalkannya cukup lama.
Tapi malam itu, uncle Anton tidak menjawab pertanyaanku, dan kami hanya duduk di kursi tunggu untuk menanti kabar baik dari ayah serta mama yang masih berada di ruangan dokter Naren.
Waktu terasa begitu panjang dan hening, bahkan aku bisa mendengar suara detik jam tangan yang uncle Anton kenakan.
Berkali-kali aku mencoba mengintip ke ruang rawat Rai sampai akhirnya ayah keluar dari ruangan dokter Naren, diikuti oleh mama di belakangnya. Tidak ada ekspresi kelegaan di wajah mereka, membuatku semakin tenggelam dalam rasa takut.
Lalu Ayah menjelaskan semuanya padaku, sementara mama sudah duduk lemas di kursi tunggu. Tidak ada penjelasan dari ayah yang berhasil kudengar dengan baik, telingaku berdenging saat itu. Sehingga yang kudengar hanya tentang operasi Rai yang gagal, dan pada keputusan terakhir, ayah memilih untuk melepas semua alat penunjang kehidupan di tubuh Rai.
Aku ingat betul ketika ayah menanyakan kerelaanku; kerelaanku untuk melepas Rai, membiarkannya tidur lelap dalam tenang.
Jika boleh, aku tidak mengizinkannya sama sekali. Aku tidak akan rela sama sekali, tapi jika dengan kerelaan dariku kamu bisa terbebas dari semua rasa sakit itu, aku bisa apa lagi Rai, selain merelakan?
It's hard, but I have to ...
Ini bukan karena aku meninggalkanmu, tapi kali ini aku hanya ingin adikku bahagia.
Maaf jika dari awal dunia ini terlalu kejam, dan aku tidak bisa melindungimu.
Maka setelah menguatkan hatiku sendiri dan berkali-kali memanggil nama Rai dalam diam, kami semua berkumpul mengelilingi ranjangnya. Mengucapkan salam perpisahan yang entah akan didengar olahnya atau tidak, tapi aku pikir Rai akan mendengar karena dia adikku; jelas dia anak baik.
Ayah mengecup lama kening Rai, mama bahkan memeluknya begitu erat ketika dokter Naren melepas semua peralatan dari tubuh Rai sampai bunyi bip panjang menggema di dalam ruangan itu, aku masih berharap kalau semua itu hanya mimpi.
Aku menyatukan kening kami. Rai, rasanya tubuhmu tidak pernah sedingin ini, jadi aku memelukmu begitu erat.
Raiga Alexander, jika kamu dipanggil pulang karena Tuhan pikir kami tidak bisa menjagamu dengan benar, aku dengan berat hati merelakanmu walau tidak pernah rasanya aku sehancur ini, tapi jika di sana kamu merasa tidak nyaman, kamu kekurangan sekecil apapun; tolong bilang padaku maka aku sendiri yang akan datang untuk menjemputmu, sebagai seorang abang yang dapat diandalkan.
Terdengar gila jika aku mengucapkannya keras-keras, jadi aku hanya berbisik dari hatiku yang paling dalam. Berharap Rai dapat mendengarnya atau bahkan mengataiku pembohong, itu tak masalah.
Aku menangis tanpa suara hingga pagi, membiarkan rasa sakit itu menghujam dadaku tanpa henti dan mendekap tubuh dingin Rai begitu lama. Karena setelah ini, kami benar-nenar akan berpisah dan aku akan melanjutkan kehidupan meskipun telah kehilangan separuh hidupku sendiri.
Lalu aku mengecup keningnya sebagai salam perpisahan; seperti yang ayah lakukan. Sebelum petinya ditutup dan siap dimakamkan.
Aku, masih berusaha untuk rela supaya langkahmu begitu ringan, supaya tidak ada yang membuatmu merasa keberatan dan bersesih.
Jika ada yang menyakitimu, tolong bilang saja padaku 'ya.
Dengan begitu, tulisan ini akan aku akhiri dengan ratusan duri yang rasanya masih menancap di hatiku, dan selamanya aku kan mengenangmu.
Dari Abangmu, Jevian Alexander yang ternyata sangat menyayangimu.
Kepada Raiga Alexander, adikku yang sudah berbahagia bersama Bapa di Surga.
***
..
.
Thank you for being nice readers!
Kayaknya nanggung kalau part ini diupload kemudian, jadi aku upload sekarang deh. Epilog beneran nunggu diedit dulu, yaps😌
KAMU SEDANG MEMBACA
CONTRITION
FanfictionDitulis Oleh Jevian Alexander dari beberapa catatan acak yang pernah sempat diabadikan kepada adiknya, Raiga Alexander. ©HimawariNa | CONTRITION 2020