Pernah suatu hari ...
"LO KAN YANG PAKE CELANA DALAM GUE!"
Bagus Rai, sekarang berteriak kepada abangmu sudah menjadi aktivitas rutinmu ya?
"apaan sih, lo pikir gue gak punya kolor? Sampe rela pake punya lo!" balasku tak kalah sengit.
Rai yang berdiri di kusen pintu masih terlihat emosi. Aku yakin dia tidak akan mengalah.
Setelah beberapa kali menarik dan menghembuskan napas seolah mengatur emosi, dia masuk ke dalam kamarku lalu membuka lemari tanpa permisi dan mengacak-ngacak pakaianku.
Aku sama sekali tidak pernah masuk ke dalam kamarnya selama ini, sementara dia tega melakukan ini hanya karena kolor sebiji.
Keterlaluan.
Setelah beberapa saat membongkar lemari, Rai berhenti ketika tidak menemukan kolor kesayangannya itu.
"buka sekarang?"Apanya, Jamal?
"APAAN?" Sentakku, aku rasa tindakannya sudah keterlaluan.
"CELANA LAH! LO PAKE CELANA DALAM GUE!" Teriaknya tak kalah keras, sampai-sampai membuat mama yang sepertinya hendak pergi kerja datang ke lantai atas.
"kenapa sih pada ribut banget?"
Tanya mama, tak lupa melemparkan tatapan lasernya; tajam, seolah bisa menembus dinding.Sementara Rai tidak menjawab, kesempatan untukku.
"Rai tuh, nuduh aku pake kolornya." aduku.Mama menggeleng-geleng sambil berdecak, dia frustasi di senin pagi ini.
"kalian itu udah pada gedek, masih aja suka ribut. Nggak di rumah, nggak di tempat umum; sama aja kelakuannya. Malu sama tetangga. Raiga, Jevian!"
Aku tersenyum mengejek, merasa menang karena mama lebih dulu menyebut nama Rai. Berarti dia yang lebih salah.
"aku nggak suka ma, aku nggak bisa berbagi pakaian sama oranglain." ucap Rai pada mama.
Tangannya sedikit bergetar, aku tidak tahu kenapa. Sepertinya anak ini cupu, tidak pernah beradu kekuatan.
"lo nggak ada bukti ya kalau gue yang make celana dalam lo!" kataku mendebatnya lagi.
"makanya lo buktiin ucapan lo itu!"
Sialan, seharusnya aku yang berkata begitu.
Mama tidak membelaku, seolah mendukung Rai.
Mau tidak mau aku berbalik, membelakangi mereka untuk mengintip celana dalamku sendiri. Dan benar saja, ada warna bitu sedikit di bagian atasnya. Aku mengambilnya di tumpukan pakaian yang belum dilipat tadi.
Dan celana dalam yang kupakai ini adalah milik Rai.
Diam-diam aku merutuk dalam hati, lalu memberanikan diri berbalik untuk menatap wajah dua orang di depanku walaupun tak berani mengaku secepat itu.
Aku seorang kakak untuk Rai, mau ditaruh dimana harga diriku kalau begini.
Ampun ya Tuhan, lain kali aku akan lebih berhati-hati.
Mama menunggu jawaban, sementara Rai menatapku lelah. Dia juga diam beberapa saat selama aku bingung bagaimana caranya mengatasi madalah ini dengan elegan.
Lalu dia menghela napas dan pergi begitu saja seperti dia sudah tau jawabannya. Hebat sekali anak ini, pasti dia mengabsen pakaiannya setiap hari.
Sekarang gantian mama yang menghela napas, tapi tidak selebay Rai.
"mama selalu beliin kalian celana dalam dengan jumlah yang sama dan warna yang beda bang. Kalau mau pakai celana dalam adeknya, bagusnya kamu ijin dulu. Adeknya juga ntar mama bilangin."Aku hendak menjawab sebelum suara bantingan pintu menggema dari arah kamar Rai dan mama yang buru-buru menyusul.
Aku jengkel, jengkel sekali. Apa harus sampai begini hanya karena perkara celana dalam.
Belum juga aku pakai baju atau celananya, barangkali rumah ini akan runtuh kalau sampai hal itu terjadi. Untung Riki tidak ada di rumah, bisa-bisanya dia meniru tabiat luarbiasa abangnya itu.
Aku keluar, ingin mengikuti mama tapi malah dihadapkan dengan mama yang berdiri di depan puntu kamar Rai yang tertutup rapat.
Mama menghela napas lagi, tapi kali ini terlihat sedih. Belum juga aku berdiri tepat di sebelah mama sebelum kami berdua dikejutkan dengan suara bantingan barang dari dalam kamar Rai.
Anak Setan!
Aku bergerak maju, lalu kutendang pintu kamarnya sekuat tenaga.
"Je!" seru mama yang mungkin agak terkejut.
"biarin aja ma, biar aku dobrak pintunya. Sekali-kali orang kayak dia emang perlu dikasitau gimana caranya sopan sama orangtua sendiri!" emosiku. Ah, rasa kesalku seperti sudah diubun-ubun.
Dan lagi, aku pikir ini bukan lagi perkara kolor. Tapi bukannya merasa kesal, mama malah tersenyum maklum.
"udah ya, saudara harus saling mengasihi." kata mama sembari mengusap bahuku. "nggak apa-apa. Mungkin adekmu lagi ada masalah, mama berangkat dulu."
Bukan lagi ada masalah ini mah, tapi emang otaknya Rai yang bermasalah.
"iya ma, hati-hati di jalan." kataku, lalu mencium tangannya.
"jangan ribut lagi."
Dan aku mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar; mau ganti celana dalam, bisa-bisa aku sial hari ini.
Lalu aku keluar saat mendengar suara kaki menuruni anak tangga.
Dan benar saja, itu Rai. Kalau tidak ingat amanat mama untuk tidak bertengkar, sudah aku HIH anak itu.
Aku memperhatikan gerak-geriknya di dapur dari anak tangga paling atas.
Dia membuka kulkas, menuangkan air dingin ke dalam gelas, terlihat memasukkan sesuatu ke dalam mulut dan meminum airnya sebelum memuntahkannya kemudian.
Lalu mengusap wajah dengan kasar. Apa airnya terlalu dingin sampai membuatnya marah?
Dasar tempramen!
Aku diam saja sampai dia memasangkan headphone ke telinga, lalu memakai sepatu dan pergi ke sekolah setelah berhasil memakai sepatunya dengan asal-asalan.
Aku menyusun rencana pembalasan untuknya lain kali, walaupun Soobin tidak pernah memakai barang-barangku. Tapi liat saja, akan ada waktunya dia lengah.
Sumpah ketika merencanakan cara balas dendam, aku tidak tahu dia membanting laptopnya yang sedang memutar musik namun tidak berhasil menenagkan emosinya.
Aku tidak tahu dia marah pada dirinya sendiri yang lagi-lagi gagal mengontrol kemarahan.
Kata mama, yang dia teguk hati itu adalah penerelaxin untuk mengontrol suara-suara di dalam kepalanya tapi dimuntahkan karena dia sadar bahwa jumlah obat yang dia telan sudah melampaui dosis.
Maka cara yang akhirnya dia pakai hanya menyunpal telinganya dengan musik keras-keras walaupun suara-suara itu bukan seuatu yang dia dengar dengan telinga.
Maaf Rai, abangmu ini minta maaf.
****
Pernah gak ribut sama saudara gara-gara pakaian? Wkwkwkwk
Thank you for being nice readers! stay healthy, stay safe! <33
- big love, Nana💜
KAMU SEDANG MEMBACA
CONTRITION
FanfictionDitulis Oleh Jevian Alexander dari beberapa catatan acak yang pernah sempat diabadikan kepada adiknya, Raiga Alexander. ©HimawariNa | CONTRITION 2020