Chapter 23.

706 71 19
                                    

Dan di sini aku berdiri dengan rasa yang terasa ditarik brutal dari raga.

Pemakaman umum St. Tarsisius, Chicago.

Telingaku masih berdenging seakan menolak semua fakta yang terjadi.

Kemarin sore, duniaku terjungkir ketika dokter Naren berkata bahwa kesadaran Rai sudah mencapai batas; mati otak setelah gagal di meja operasi darurat.

Lama kami semua; seluruh keluarga besar, berkumpul, berserah, berputus asa dan saling menguatkan. Namun sepertinya apa yang kami inginkan tidak terjadi, seluruh organ Rai sudah disfungsi dan akhirnya adalah tadi subuh; ayah dengan hatinya yang hancur melepas seluruh alat penopang kehidupan yang Rai gunakan, merelakan satu putranya pergi mendahuluinya.

Mama bahkan pingsan setelah menangis sejadi-jadinya sambil menggumamkan ratusan kata sayang kepada putranya.

"Dari kecil adek nggak banyak mau, makan pake kecap aja senang kamu dek, nggak pernah ngeluh sakit, nggak pernah komplen ini itu sama mama. Anak pinternya mama, maaf ya, kalau mama nggak jaga kamu baik-baik, sekarang tidur yang nyeyak, istirahat yang damai. Mimpiin mama ya, sayang. Mama, Abang, Riki sama Ayah bakalan kangen setiap hari."

Aku mendengar semua ucapan yang mama bisikkan ke telinga Rai yang sudah tak bernyawa, lalu mengecup seluruh wajah Rai sebagai salam perpisahan.

Ayah pun sama, dia tidak banyak berkata; hanya mengusap wajah Rai lalu mengecup kening Rai cukup lama.

Setelahnya giliranku, aku menumpu keningku dengan Kening Rai; berkomunikasi dengan hatiku, mengirim jutaan memori indah yang sempat kami miliki bersama.

Walau itu hanya berlarian di pematang sawah, atau sekedar menggandengnya di jalan koplek; aku menghargai itu semua Rai, tolong tetap simpan itu dalam ingatanmu selamanya.

Aku dan Rai sudah melewati banyak hal bersama, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya; kami tumbuh, makan dan minum dari sumber yang sama sejak lama.

Raiga Alexander, adikku. Selamat tidur.

Hari ini kami semua hancur, mengantar Rai ke tempat peristirahatannya dengan hati pilu. Tapi mungkin hal yang akan membuatnya bahagia di atas sana adalah teman-teman sekolahnya ada di sini, tidak hanya Kai; tapi banyak orang yang menyayanginya. Syukurlah Rai, masa remajamu baik, karena teman-temanmu berkata begitu.

Katanya, Rai teman kelas yang baik walaupun sedikit bicara, banyak membantu meski sedikit tersenyum. Dan mereka bilang Rai populer di kalangan anak perempuan, aku lega kalau begitu. Syukurlah, tolong tidurlah dengan tenang dan tanpa penyesalan.

Dengan begitu, akupun akan berusaha merelakan.

Jay menepuk bahuku sekali setelah meletakan bunga Chrysant putih di pusara Rai.
"Ayo balik"
Ucapnya pelan.

Aku mengangguk, lalu mempersilahakan Jay dan yang lain pergi duluan sementara aku berusaha menepuk bahu Kai yang masih saja berjongkok; tak rela pergi dari pemakaman.

Orangtua Kai masih di sana, menunggu anaknya berdiri. Tapi sepertinya tidak semudah itu, teman baiknya meninggal! tentu merelakan adalah bagian tersulit, sama sepertiku.

Aku ikut berjongkok di sisi Kai, menunggu tangisnya agak mereda sebelum berucap.

Aku mengangguk kecil; mempersilahkan orantua Kai pergi ke mobil lebih dulu, menyusul mama yang masih terpukul.

"Gue mau pake jas rapi kayak gini bukan buat datang ke pemakaman Rai, bang. Gue udah bilang, kita bakalan wisuda sama-sama.
Bahkan tahun ini gue rela-rela ambil akselerasi. Tapi kayaknya Soobin nggak setuju." Rancau Kai.

Aku masih mendengar.

"Dia emang suka kayak gitu, nggak jawab. Suka nggak setuju, nyuekin gue. Emang ngeselin! Tapi Rai temen pertama gue di sini. Walaupun nggak pernah bilang apa-apa, tapi dia datang pas gue dikunciin di gudang kursi."
Kenang Kai, rupanya pertemanan antara anak-anak ini begitu erat.

"Rai bakalan kesal kalau liat lo kayak gini, dia nggak bakalan seneng liat lo cengeng." Hiburku, meski aku tidak tahu apakah kata-kataku ini bisa diterima sebagai sebuah penghiburan.

Aku bukanlah orang yang pandai menghibur oranglain, karena hanya sekedar kata; bagiku tidak pernah berefek apa-apa.

Tapi situasi Kai mungkin beda, dia bukan orang sepertiku; dia menerima apa yang kukatakan, bangkit dan menurut ketika aku ajak pulang.

Dengan berat hari aku melangkah, membelakangi Rai lagi, mempertontonkan punggungku lagi. Dan sekali lagi meninggalkan Rai.

Satu fakta yang mungkin adalah kenyataan yang baik, bahwa dia akan suka di sini karena sinar matahari pagi akan leluasa menerangi tempat ini, lalu rerumputan hijau dan bukit; Semuanya kesukaan Rai.

Perjalanan dari makam ke rumah rasanya jadi sangat jauh dan kami semua tenggelam dalam hening dengan Riki yang sesekali bergumam; menggumamkan nama Rai, lalu menangis karena orang yang dia panggil tidak ada di dalam mobil, kemudian mama akan menenangkan Riki walau airmatanya ikut menetes, lalu ayah akan menggenggam tanganku dengan salah satu tangan sementara tangannya yang lain mengendalikan kemudi.

Begitu terus sampai kami tiba di rumah yang terasa lebih sepi dari biasanya.

Ketika aku membuka pintu, rasanya Rai masih ada di kamarnya yang berbatasan dinding dengan kamarku. Lalu aku mengingat wajah menyebalkan miliknya di dapur, di tangga, di ruang keluarga, di halaman belakang dan dimana-mana.

Tapi kemudian khayalanku buyar ketika aku sadar bahwa saat ini aku mengenakan stelan jas hitam; bahwa aku memakainya bukan tanpa alasan. Bahwa yang membatasi aku dan adikku bukan hanya sekedar dinding.

Dan Rai tidak ada di sebelah kamarku.

"Maaf, ayah tidak bisa memulangkan Rai ke Indonesia. Rasanya akan lebih baik kalau dia disemayamkan di sini, supaya kita terus bisa berdekatan."

Ucap ayah membuka percakapan ketika kami berempat; aku, ayah, mama dan Riki duduk melingkar di lantai ruang tengah.

Mama mengangguk, aku juga melakukan hal yang sama. Memang ayah yang meminta agar Rai dimakamkan di sini, katanya dia takut Rai akan kesepian jika dipulangkan ke Indonesia; sementara kami mungkin hanya dapat berkunjung sesekali.

Jika alasannya sebaik itu, aku tidak bisa untuk tidak setuju. Lagipula benar kata ayah, Rai akan kesepian jika tidak di sini; karena rumahnya sudah di sini.

Ayah meraih kami ke dalam pelukannya, lalu kami berusaha saling menguatkan lagi setelah rumah kami kehilangan satu tiang.

"Sekarang tinggal kita berempat, kita bisa kuat. Ikhlaskan Rai, supaya Rai bisa tidur dengan tenang; nggak suasah jalannya karena ditangisin terus. Dia sering bilang kalau sedetikpun nggak pernah menyesal ada di antara kita. jadi, ayah lega. Maaf ya, ayah relain Rai bukan berarti ayah nggak sayang."

Aku dan mama mengangguk, lalu kami kembali menumpahkan airmata; menangisi satu anggota keluarga kami yang pergi begitu jauh.

Rai, kami menangis seperti kehilangan kewarasan hari ini; mata mama bengkak, Riki terus nyariin Lo, ayah nangis dan gue ... Masih berharap kalau ini semua cuma mimpi.

Tapi kalau itu semua ngebuat lo susah, besok-besok kita janji bakalan ngembaliin kehidupan yang serasa terjungkir ini ke porosnya lagi.

Maaf, ya.

End.

.

.

Hi thank you for being nice readers!
Makasih udah baca sampai part terakhir, dan kemudian akan ada beberapa part tambahan (yang akan ngebuat cerita ini kayak 'yah, lumayan jelas lah' supaya aku nggak digebuk ahaha) serta epilog, nantikan ya!!

- Big Love, Nana🌻

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang