Chapter 16.

538 73 10
                                    

Enam bulan, kami hidup seperti sedang bermain peran; menahan air mata dan rasa putus asa demi menjaga Rai, menahan diri supaya tidak terlalu khawatir, menahan diri sekuat tenaga untuk tidak membantunya berdiri ketika dia jatuh.

Tentu saja bukan karena kami sengaja, tapi demi melihatnya terus hidup seperti biasa; belajar sampai larut malam bila mau, keluar rumah hanya ketika dia merasa nyaman. Semua itu akan kami lakukan, tentu saja Rai ... dengan senang hati.

"mau main base ball di halaman belakang rumah si Kai nggak? Daniel bawa sekeluarga-keluarganya ntar."
Tawarku saat mendapati Rai sedang memandangi jalanan dari jendela kamar. Tumben sekali dia membiarkan pintunya terbuka.

"Ngapain?" tanyanya seperti tidak mendengar aku bicara. Kalau biasanya aku akan bilang 'tuli ya lo?' sekarang tidak, aku tahu dia tidak bermaksud. Selain wajahnya yang kian pias dari hari ke hari, kondisinya juga mulai menurun.

Yang biasanya dia terusik hanya karena suara pintu utama dibuka sementara dia di lantai dua, sekarang aku yang bicara dengan suara keras di depannya malah tidak terdengar. Kadang dia bicara berulang-ulang dengan terbata, atau tiba-tiba saja pandangannya buram dan hal-hal menyebalakan lainnya.

"Main base ball di belakang rumah Kai." ulangku sembari berjalan mendekatinya yang sedang duduk di tepian kasur.

Rai mengangguk setelah mengalihkan seluruh atensinya padaku.
"sama siapa aja?"

Aku tersenyum lagi.
"sama Danuel, katanya mau ngenalin sepupu sama temennya."

Dia tidak lantas menjawab; menimbang-nimbang sejenak ajakanku.
"sepupu sama temennya yang mana?"

"ya gak tau, makanya ikut biar tau."

"hmm. oke deh."

Aku tersenyum lebar kali ini, lalu beranjak untuk mengambil jaket di lemari lantas memakaikan pada Rai. Setelah itu, kami berdua menuruni anak tangga dengan Rai yang berjalan di belakangku.

Di saat seperti ini, ada kalanya aku seperti ditarik pada masa kami masih anak-anak. Rai yang berjalan di belakang ku, aku yang memakaikan jaket untuknya, dia yang banyak tanya, dia yang penurut dan tidak banyak mendebat. rasanya agak asing ketika kami yang biasanya hanya menghabiskan waktu hanya untuk bersitegang dan hidup dalam dunia masing-masing.

Tidak tahu bagaimana caranya supaya bisa terbiasa.

Sering aku berpikir kalau mengabaikanku seperti biasa, bahkan jika membuatku mati dalam penyesalan bisa membuat Rai baik-baik saja; tentu aku akan menanggungnya, tapi sepertinya Tuhan ingin aku lebih berusaha, lebih sabar dan sadar agar tidak menyia-nyiakan anugerahnya.

"sepatu aku yang mana?"
Tanya Rai ketika kami sama-sama berdiri di depan rak sepatu.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain memamerkan senyuman, sekarang dia menyebut dirinya 'aku'
"yang hitam. Biasanya lo suka warna hitam"

Rai balas mengangguk dan langsung memakai sepatunya tanpa banyak bicara lagi, lalu kami berdua hanya melangkah dalam diam dan seperti biasa; moment seperti ini selalu menyisakan tanya untukku tentang isi kepala Rai yang sebenarnya.

Apa yang dia pikirkan ketika jarum berisi obat kemoterapy masuk ke pembuluh darah dan menghajar sekujur tubuhnya?

Lebih dari sekali dia sudah melakukan kemoterapy tapi tidak apa progres sama sekali, dan sebanyak itu Rai tidak banyak mengeluh. Hanya mencengkram selimut kuat-kuat ketika rasa sakit itu hadir, lalu muntah. Dia tidak pernah mengeluh tentang pahit dari obat yang ditelannya tiap hari, tidak pernah menyerah untuk memasukkan bubur ke dalam mulut walau tiga detik kemudian dia harus muntah.

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang