Chapter 22.

605 66 12
                                    

Sekarang sudah pukul sepuluh pagi. Dan aku masih duduk di kursi panjang yang berbaris di dalam kapel, tidak banyak hal yang bisa dilakukan; hanya termenung menatap altar sejak tadi bersama Jay, Jimi dan Teo. Mereka tidak beranjak dari sisiku sejak tiga jam lalu, saat tiba-tiba mereka datang tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Ngapain di sini?" kataku akhirnya setelah cukup lama hanya terdiam.

"Karena lo di sini." Jawab Teo pelan.

Setelah itu tidak ada yang bicara lagi, kami membiarkan keheningan mengisi ruang; tidak seperti biasanya  dimana keberadaan kami selalu saja rusuh.

"Udah makam belum, lo?" tanya Jimi tiba-tiba.

Aku menggeleng, aku tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Sememtara Jimi menanggapinya hanya dengan anggukan, tidak heboh seperti biasa.

Jay menepuk bahuku dua kali.
"Coba lo makan dulu, pulang dulu, abis itu masuk ke ruangan adek lo; ngobrol sama dia, kasitau kalau lo sesayang itu sama dia."

Ucap Jay yang kembali mengundang airmataku. Tidak, aku tidak mau melakukannya. Melakukan hal-hal seperti itu sama saja dengan aku menyerah atas Rai.

Aku teriasak untuk pertama kalinya di depan teman-temanku, lalu mereka bertiga pun ikut menangis; tidak ingin membiarkan aku sendiri yang merasakan begitu sulitnya keadaan saat ini.

Cukup lama kami menangis seperti orang-orang bodoh, sampai akhirnya aku mengalah kepada Teo yang terus-terusan mengajakku keluar dari kapel.
"Daripada lo nggak bisa ngelakuin apa-apa, mending lo masuk ke kamar rawat adek lo; ngobrol sama dia, hibur dia, atau lo minta dia buat bangun. Gue yakin Rai nurut kalau sama lo."

Begitu katanya. Aku pergi dari kapel, berniat untuk pulang sebentar. Berharap Rai benar-benar menurut padaku kali ini.

Maka aku masuk ke dalam ruang rawat dimana Rai tertidur sangat tenang, dengan alat-alat penunjang kehidupan yang menjuntai kenasa-sini. Aku benci, sekaligus berharap banyak pada alat-alat sialan itu.

"Rai, gue pulang dulu ya. Ntar kalau gue balik, lo harus bangun pokoknya." kataku lemah, tidak sanggup untuk sekedar mengusap keningnya; aku takut menyentuh Rai, seolah-olah itu akan menyakitinya lebih banyak lagi.

Setelah itu, aku benar-benar pulang dengan banyak hal yang berkecamuk di dalam hati; seperti ombak yang terus menabrak karang, aku tidak bisa tenang. Bahkan ketika aku sampai di rumah, yang kulakukan hanya untuk cepat-cepat kembali ke rumah sakit.

Jadi aku hanya mandi sebentar, lalu duduk di tepian kasur untuk mengatur pikiran dan mendapatkan kewarasan lagi.

Merasa cukup menenangkan diri, aku kembali beranjak; ingin pergi, tapi pintu kamar Rai yang terbuka menarik perhatianku. Tidak seperti biasa bagaimana pintu itu selalu tertutup dan membuatku menunggu kira-kira kapan akan terbuka, lalu Rai dengan wajah tak santainya keluar dari sana, mendengkus saat bertemu tatap denganku atau kadang hanya menaikkan satu alisnya; khas Raiga sekali.

Aku melangkah masuk ke sana dan menatap kekacauan semalam; butiran obat yang tercecer, selimut dan bed cover yang tergeletak begitu saja di lantai, serta komputer yang masih menyala.

When we were young, we were the ones.
The kings and queens oh yeah.

(Saat kita muda, kita adalah jagoan. Sang raja dan ratu.)

Tiba-tiba saja lagu Brother milik codaline mengalun ketika aku masuk lebih jauh. Membuatku sedikit tersenyum kala ingat betapa kamar Rai lebih mirip seperti kamar seorang hacker; dua komputer di meja panjang, buku-buku tersusun rapi di rak atasnya, lalu sebuah laptop dan ponsel di nakas dekat tempat tidur, serta peralatan musik di samping meja belajar.

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang