Chapter 17.

558 68 7
                                    

Kemarin sepertinya menjadi hari yang menyenangkan untuk Rai. Dia tersenyum ketika kami berjalan pulang, walau tanpa sadar sudah membuat kami hancur ketika dia sama sekali lupa tentang Jimi.

Aku masih ingat bagaimana Jimi tersenyum pahit karena dilupakan.

Tapi itu sesuatu yang baik bukan? Ketika teman-temanku juga ikut memperhatikan adikku, berarti semakin banyak yang mencintainya dan mendoakannya.

Namun ada beberapa kali dalam perjalanan pulang aku ingin setidaknya sekali dalam hidup ini aku ingin protes atas apa yang terjadi, pertanyaan 'kenapa harus Rai? Kenapa harus aku? Atau kenapa harus keluargaku?' terus menari-nari dalam benak, berdansa dengan segerumul rasa putus asa tanpa tahu apa lagi solusinya. Oh, betapa menyebalkan.

Lalu hari ini seharusnya jadwal kemoterapi Rai dan seharusnya aku menemaninya kesakitan, seperti biasa ketika aku selalu berharap Tuhan berbaik hati untuk membagi rasa sakitnya padaku.

Sayangnya hari ini lebih dari itu, Rai batal melakukan kemoterapy karena kondisinya menurun setelah demam tinggi tadi subuh. Lalu muntah dan mencengkram kepalanya seolah dia ingin menghancurkannya kemudian pingsan setelah kesulitan bernapas.

Mama menangis sejadi-jadinya ketika menyaksikan tubuh putranya bersimbah keringat, terus muntah dengan suara-suara menyakitkan sambil terus meringis; meneriakkan kesakitannya dan melemas seketika.

Riki ikut menangis meski tidak begitu mengerti apa yang sedang terjadi, Ayah setenang biasanya walau aku bisa melihat sudut matanya berair ketika mengangkat tubuh lemah Rai.

Sementara aku? Rasanya mau mati.

Sumpah demi apapun aku tidak pernah membayangkan akan berada pada situasi seperti ini. Aku tidak mengingingkannya, aku hanya ingin adikku yang sedang ditempeli selang-selang dan kabel-kabel di sana segera bangun lalu berkelahi lagi denganku.

Maka di sinilah aku, untuk pertamakalinya dalam hidup seorang Jevian Christo berdoa dengan sungguh-sungguh dan menangis di depan altar sebuah kapel tidak jauh dari rumah sakit.

Tertulis dalam Matius 21:12
"Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya."

Hari ini saudaraku sakit, dia membutuhkan pertolongan-Mu untuk dikuatkan dan diringankan sakitnya. Aku ingin dia bangun, tidak apa-apa jika perkataannya padaku lebih kasar dari biasanya, tidak apa jika dia mendapat hadiah natal lebih banyak dariku. Atau, tidak apa jika semua kebahagianku ditukar untuk kesembuhan dan kebahagiannya; aku akan menukar semua itu. Asal dia tetap di sini, bersamaku sepanjang hidup ini; berjalan beriringan, melewati suka duka dan saling belajar sebagaimana saudara yang semestinya. Tuhan, dengan ini aku meminta dari dasar hatiku yang paling dalam, tolong kabulkanlah Doaku. Amin.

Adalah doa yang kupersembahkan dengan deraian airmata seorang laki-laki dewasa. Kalau tidak salah guru sekolah mingguku dulu pernah berkata, bahwa jangan malu menangis dihadapan Tuhan. Tidak apa-apa memperlihatkan versi diri kita yang paling lemah di depan Tuhan ketika kita selalu berusaha memperlihatkan versi kita yang paling kuat di depan semua manusia.

Setelah puas menyiksa diri, aku keluar dari kapel dengan dada yang sedikit ringan, seperti bukan aku sendiri yang menanggung kesedihan ini.

Langkah kakiku mengayun tenang menuju bangsal duapuluh, tempat Rai dirawat sebelum ponselku berdering; memperlihatkan panggilan dari Ayah.

"kenapa yah?" tanyaku cepat, setahuku ayah masih menjaga Rai sebelum aku pergi ke Kapel tadi, ada apa menelfon?

"Adek udah bangun, kamu ke sini ya; kasian nggak ada temen ngobrol, dianya ngambek sama ayah."

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang