Chapter 02.

955 119 7
                                    

Tau apa yang terjadi ketika mama sampai?

Aku ditampar.

Tamparan pertama selama duapuluh dua tahun aku hidup dan berkarya di bumi ini.

Ceritanya panjang, dan memang seharusnya aku diperlakukan begini. Tidak ada alasan untuk marah, malah seharusnya aku yang minta maaf.

Awalnya ibuku datang dengan langkah tergesa menuju kamar Rai, dia mengecek suhu tubuh, lalu berusaha membangunkan anak itu yang tampak enggan membuka mata.

Setelah terbangun, Rai— dengan tidak jelasnya malah tersenyum. Merancau banyak hal yang isinya adalah kata-kata yang meyakinkan mama bahwa Ia baik-baik saja, mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi dibawa ketempat itu. Itu yang entah apa maksudnya.

Mama terlihat mengangguk, lalu menanyakan apakah Rai perlu obat dan anak itu menggeleng.

Sampai di sana aku masih berdiri mematung, masih menyimak harus bagaimana dan berbuat apa.

Hanya seperti itu sampai Rai menyadari keberadaanku dan kembali terlihat agak ketakutan, seriosusly, hanya karena aku paksa makan dia sampai trauma begini?

Mama menyadarinya tapi tidak berbuat apa-apa, dia membetulkan selimut yang Rai gunakan lalu pamit keluar.
"bang, ayo ikut mama dulu." ucap mama masih dengan nada lembut.

Sampai di sini, aku masih berpikir bahwa letak keanehan masih terletak pada Rai. Jadi, aku mengikuti mama yang sepertinya ingin memberitahu sesuatu, ya tidak masalah jika dia mengatakan aku harus kembali menjaga Rai dan dia harus kembali bekerja. Tidak apa-apa, dulu juga aku melakukan ini.

Aku dan mama berdiri di dekat tangga, agak di dekat pintu kamarku.

"tadi kenapa bang? Kok adek bisa tiba-tiba sakit gitu?"

Aku menggaruk tengkuk pertama-tama, agak bingung juga mau bercerita dari mana. Aku sedikit enggan menceritakan bagaimana caraku memberikan sarapan pada Rai.
"tadi aku bangunnin, dia bangun-"

"yang kamu sebut 'dia' itu adik kamu bang!" potong mama cepat.

Aku sedikit menghela napas dan sedikit keberatan dalam hati. hanya sedikit, karena ... yeah, ini agak berlebihan.
"iya, iya. Tadi Rai bangun terus aku suruh sarapan kayak kata mama."

"terus?"

Yasudahlah.

"aku paksa dia makan-"

"maksanya kayak gimana?"

Huuft, aku mulai jengah. Kenapa sih masalah ini sampai rumit begini? Jadi mau tidak maupun aku harus menceritakan semuanya, lagipula berbohong pada orangtua itu sama sekali tidak baik mau sepahit apapun kenyataannya; aku harus berani. Begitu kata guru sekolah mingguku dulu.

Jadi aku menceritakan semuanya secara rinci tanpa meninggalkan fakta apapun, mulai dari Rai yang  mengusirku dari kamar, lalu aku menyeretnya turun ke ruang makan, memasukkan paksa sandwich ke dalam mulutnya, dia yang menyenggol beberapa peralatan dapur, lalu ketakutan saat aku memegang pisau dan dia muntah seperti orang kesurupan, susah bernapas dan akhirnya aku menelepon mama.

Setelah mengatakan semua itu, aku tidak mendapat limpahan berkat dari Tuhan; seperti kata guru sekolah mingguku yang berkata bahwa manusia akan mendapat berkat ketika berkata jujur.

Yang kudapati malah sebuah tamparan dari mama.

"sebenarnya kenapa sih? Mama selalu berlebihan kalau menyangkut anak itu. Dari dulu Jeje gak suka tau nggak, liat kelakuan dia dan cara mama perlakuin dia, seolah-olah dia anak kecil yang harus selalu dijaga, menye-menye, banyak tingkah pula. Bahkan Riki aja nggak semanja dia!" seruku dengan nada tinggi.

Kemarahan pertamaku selama duapuluh dua tahun ini. Apakah aku baru saja membentak mama?

Yoksi, anak durhaka.

"aku bahkan mama masukkin ke asrama waktu seumuran dia, mana pernah aku ngerengek minta dimasakin, aku nyuci bajuku sendiri, ngurusin kaus kaki aku sendiri, sakit pun aku nggak pernah diurusin mama! Aku bisa ngurusin diri aku sendiri. Nggak kayak dia, nggak guna banget jadi manusia!"

Dijemput pulang dari asrama tau-tau harus menghadiri persidangan mama dan papa tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itupun aku harus mengurus Rai sementara mama bekerja, memutuskan untuk tidak kulaih karena tidak ingin membebani siapa-siapa. Lanjutku dalam hati, tidak sampai hati mengatakan semua itu pada mama yang tampak sudah mengepalkan tangan, seperti siap menghajarku kali ini.

"masih ada lagi? Bilang sama mama apa lagi yang ngebuat kamu keberatan sampai saat ini?"

Kali ini mama memanggilku dengan nada marah. Tidak seperti biasa, dan apakah aku tidak dengan senang hati menjalani semua itu selama ini?

Aku diam, lalu mama terlihat mulai ingin berbicara.
"asal kamu tau bang, mama masukkin kamu ke asrama buat ngelindungin kamu! Malah mama bersalah sama adik kamu itu bang!"

Aku tidak mengerti.
"ya terus apa? Apa yang salah, coba jelasin ke aku!" bentakku lagi.

"kamu udah nggak suka sejak adik kamu lahir. Mama tau itu dan mama maklum karena kamu masih anak-anak, tapi Setelah itupun kamu banyak main daripada di rumah, mana kamu tau apa yang terjadi bang! Kamu nggak tau adik kamu jadi korban kekerasan papa kamu!"

Ibuku menangis saat itu, akupun tidak tau mau menanggapi seperti apa. Bahkan seluruh tubuhku terasa dingin.

"mama cuma bisa masukkin kamu ke asrama buat ngehindarin kejadian yang sama. Mama nggak bisa ngelepas adikmu juga karena dia masih kecil sementara kamu juga nggak bisa mama percaya!"

Aku masih membeku ketika mama mengatakan alasan mereka bercerai karena dia tidak mau anak-anaknya terluka, terlebih aku yang pada saat itu hanya tau tentang dunia yang indah-indah saja; hanya tau main, jajan, pulang, game lagi, tidur, punya banyak teman tapi masa bodo dengan keadaan rumah dan keluargaku.

Lalu bagaimana dengan Rai yang menanggung cambukkan, sayatan pisau, pukulan, tamparan dan  acaman sampai mama mengetahuinya?
Mendadak aku merasa bodoh ketika aku masih sempat memikirkan rasa kopi di apartemen Jimi sementara adikku tengah bertarung melawan ketakutannya yang bangkit lagi.

Mendadak aku merasa sedih sampai ingin menangis seperti orang gila ketika aku nerasa bangga bisa bersosialisasi dengan banyak orang, haha hihi dengan banyak teman sementara Rai sangat ketakutan, sendirian dalam duninya.

Padahal aku abangnya, padahal aku harus melindungi adikku sebelum melindungi komplotan temanku saat tauran. Betapa menyesalnya aku berdiri di paling depan, sementara aku sama-sekali tidak menoleh pada adikku.

Pantas saja papa tidak ada di hari ketika mama mengantarkan makanan untukku di asrama, ternyata pada saat itu dia sedang di tahan di kantor polisi dan Rai sedang terbaring di rumah sakit dengan luka tusuk di pinggang kecilnya.

Aku menangis, tangisan terhebatku selama duapuluh dua tahun ini. Lebih parah dari tangisan Rai saat itu. Aku menangis karena telah menjadi bodoh, bahkan masa penyembuhannya empat tahun belakangan saja aku tidak tahu.

"maaf. Maaf. Jeje nggak tau ma, Jeje minta maaf."
Ucapku di ujung sesal, sekarang bahkan jika mama memukulku sampai pingsanpun aku tidak masalah.

Tapi mama tidak nelakukannya, dia malah memelukku. Mengucapkan ribuan penyesalan sebagai seorang ibu yang merasa gagal menjaga anak-anaknya.
"maafin mama, seharusnya kalian nggak di posisi ini. Seharusnya dulu kita nggak bangkrut, seharusnya mama nggak bekerja dan ninggalin kalian di rumah."

Dan seharusnya aku juga lebih dewasa. Seharusnya aku tidak banyak bermain dan meninggalkan Rai sendiri di rumah.

Lalu sekarang, hanya tersisa kata seharusnya dan seandainya.

***

Thank you for being nice readers, guys!

Hope you enjoy this story.

Big love, Nana <3

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang