Chapter 12.

552 81 2
                                    

Seminggu berlalu, yang artinya hasil pemeriksaan Rai akan keluar. Mama dan ayah sepertinya khawatir, itu jelas dilihat dari tindakan mereka hari ini; bahkan ayah mengambil cuti dan Riki sudah dititipkan ke baby care.

Rai sendiri tidak bereaksi banyak, bahkan terkesan tidak peduli meski beberapa waktu belakangan aku sering melihatnya melamun ketika sedang menonton. Dia sering demam tinggi, kemarin bahakan mimisan banyak sekali dan migrainnya sering datang.

Tidak satupun diantara kami yang bisa bernapas lega, Riku juga seperti mengerti situasi rumah yang sedang ketar-ketir; dia tidak rewel, tidak susah makan dan banyak memeluk Rai akhir-akhir ini.

Dan aku, hampir gila karena tidak bisa berbuat apa-apa bahkan hanya sekedar untuk menyapa Rai yang selalu terlihat enggan bicara dengan siapapun. Dia kembali seperti sebelumnya; tidak peduli dengan sekitar, lebih banyak berpikir, selalu di kamar dengan musik yang mati dan tirai tertutup serta lampu kamarnya yang tidak pernah menyala.

Kemarin aku memaksa mama untuk mengatakan semuanya; apa saja yang dokter katakan sampai membuat Rai seperti ini.

"Dokter curiga ada resiko glioblastoma akibat dari trauma kepala adek sebelumnya."

Aku tersdiam. Masih mengira-ngira, dari mana asal trauma itu dan jawaban mama kemarin sudah sukses membuat amarah yang sebelumnya tidak pernah kurasakan naik ke permukaan.

"Selain luka tusuk, adek juga dapat luka parah di belakang kepalanya. Maafin mama"

Bukan itu yang aku mau; bukan permintaan maaf dari orang yang tidak bersalah. Meskipun hasil pemeriksaan belum keluar, tapi beberapa kali melihat Rai mengerang kesakitan, menangis dan muntah seperti itu belum lagi demam tinggi, mimisan dan sedikit-sedikit lelah; rasanya aku ingin mengambil penerbangan ke Indonesia secepatnya, mencari orang yang sekarang masih di penjara untuk meminta pertanggungjawaban. Setidaknya kalau dia tidak bisa, maka aku akan menghajarnya sampai mati.

Papa, bukan lagi orang yang bisa aku hormati.

Meninggalkan semua kekalutan itu, aku memilih untuk beristirahat sebentar sembari menimbang-nimbang; memikirkan apa yang akan kulakuakan jika kemungkinan berubah jadi buruk.

Dan di sini aku sekarang, pesta alkohol di rumah Jimi. Dia mengundang banyak teman perempuannya yang entah dari mana, rumah besar Jimi sudah disulap jadi bar dadakan seketika, tepat ketika aku bilang butuh pereda stres.

Namun semua ini tidak membuatku berhasil memasukkan alkohol barang seteguk, pun.
"kenapa rame banget dah?" tanyaku heran.

"Abisan lo bilang butuh pereda stres. Mana pernah Jevian Cristo stres, mikir aja lo jarang." celetuk Jimi yang sedari tadi betah duduk di sampingku, sementara Teo dan Jay sudah asik 'berpetualang' di depan sana.

Hanya duduk dan minum, adalah kebiasaan Jimi ketika berpesta atau kami pergi ke bar. Dia tidak pernah terlihat mengandeng satu wanita pun, tidak pernah punya pacar dan malah terkesan tidak tertarik bahkan terang-terangan tidak suka pada Andrea, dulu.

"Sialan lo. Lagi banyak pikiran ni gue."

Jimi terkekeh, lalu menyodorkan rokok. Aku menerima tapi tidak segera menyulutnya. Entahlah, rasanya aku malah ingin berbaring dengan lantunan lagu rohani yang sering aku dengar ketika sekolah minggu dulu. Atau sekedar masuk ke kamar Rai yang musiknya bisa menyala otomatis itu, lalu membaringkan diri di sana daripada di sini dengan dentuman musik keras seakan terasa sampai masuk ke ulu hati.

Satu-satunya hal yang masih membuatku nyaman hanya tindakan Jimi yang tidak banyak tanya ini-itu; melainkan cukup diam dan mendengar, lalu sesekali menawarjkan sesuatu yang sekiranya bisa menyenangkanku. Trima kasih Jimi, ini sangat membantu.

CONTRITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang