8.

71 18 7
                                    

"Yoo Hae In? Putri direktur Yoo?" Suga bertanya untuk memastikan bahwa apa yang barusan ia dengar memang bukanlah sebuah kesalahan.

Gadis kecil itu mengangguk dengan tatapan polos. "Apa samchon tidak ingat? Aku senang loh bisa bertemu lagi dengan samchon," ucap Hae In dengan suara serak. Gadis itu berdehem dan terbatuk, lalu kembali tersenyum untuk menunggu jawaban Suga.

"Ahaha, yah. Tentu saja. Aku ingat. Senang bertemu denganmu juga Hae In." Suga meringis geli. Baginya pertemuan ini bukanlah hal yang sepatutnya ia jadikan momen untuk bersuka cita, juga bukan sebuah hal yang baik untuk identitas palsunya ini.

"Bagaimana dengan Sejun? Apa dia baik-baik saja?" Hae In melakukan lompatan kecil untuk mengintip keadaan Sejun dari celah jendela. Sayangnya dia kurang tinggi dan ruangan juga remang-remang sehingga wajah Sejun tidak terlalu terlihat.

"Dia hanya perlu tidur sebentar. Mau lihat Sejun?"

"Hmm, tidak perlu samchon. Aku juga harus beristirahat."

Berbanding terbalik dengan perkataanya, ekspresi gadis itu mengatakan bahwa sejujurnya dia ingin untuk masuk ke dalam dan melihat keadaan Sejun. Suga merasa iba juga melihat gadis itu yang terlihat pucat terus memegangi tiang infus.

"Samchon antar Hae In ke kamar, ya?" tawar Suga yang hanya dibalas anggukan lemah.

"Hae In kesakitan?" Suga bertanya ala dokter anak. Sedari tadi Hae In terlihat tidak baik, saat tangan Hae In menggenggam tangannya juga, rasanya begitu hangat menuju panas.

"Di hari yang sama dengan operasi appa, aku ada di ruangan sebelahnya. Aku juga dioperasi hari itu. Mereka bilang amandelku diangkat."

Operasi amandel. Tonsilektomi. Daya tahan tubuh menurun. Suara serak. Badan panas. Tidak heran Hae In bisa ada di sini.

"Sering kemari?" Biasanya rumah sakit menjadi langganan bagi mereka yang sudah melakukan operasi pengangkatan amandel.

"Sebulan sekali minimal. Aku selalu tidur di kamar ujung lorong. Di sana menyenangkan untuk melihat matahari terbenam. Siapa tahu samchon ingin mengunjungiku kapan-kapan di sana," Hae In berucap sembari tangannya berayun dengan milik Suga.

"Suka melihat matahari terbenam?"

"Matahari terbit juga aku suka. Tapi akhir-akhir ini aku melihatnya sendirian. Biasanya ada yang selalu menemaniku menikmati sunset dan sunrise."

"Nugu?"

"Min Yoongi samchon. Apa Yoongi samchon tidak cerita? Beberapa hari sebelum Yoongi samchon tidak datang lagi, dia menangis. Yoongi samchon bercerita soal Sejun serta keluarganya. Maka dari itu aku khawatir saat Sejun pingsan tadi. Ternyata para samchon memang sangat menyayangi Sejun."

Hae In membuka pintu kamar rawatnya. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi tidak terlalu kecil juga. Dan memang benar. Jendela yang lebar membuat Hae In leluasa untuk melihat matahari terbit maupun terbenam. Bahkan Suga bisa duduk tepat di depan jendela untuk menikmati pemandangan.

"Apa Suga samchon tahu di mana Yoongi samchon?"

"Eoh? Dia---" Suga merotasikan matanya, hingga satu gambar yang ditempel secara acak di atas kasur Hae In menarik perhatiannya.

"Siapa yang menggambar ini?" Suga menunjuk gambar itu. Ada lima gambar orang yang mirip tangkai berjajar di sana. Terlihat bahwa ada tiga orang pria dan satu wanita.

"Yoongi samchon dan aku yang gambar." Hae In menunjuk satu persatu gambarnya. "Yoongi samchon, aku, Suga samchon, Sejun, dan Hyoora immo."

AmbivalentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang