11.

66 17 0
                                    

Sama dengan yang dialami Suga. Mungkin baik Yoongi maupun Suga. Keduanya memiliki kelebihan dalam ucapan. Entah ucapan mereka dianggap sebagai perintah atau memang ucapan mereka bagaikan mantra yang begitu ampuh bagi si pendengar.

Buktinya Seokjin benar-benar melakukan hal yang sama persis seperti Suga beberapa waktu lalu. Berdiri di depan kamar Aera pada waktu yang Suga katakan. Seokjin sungguh datang, tapi sayang di saat dirinya hadir di depan sini, keberanian untuk sekedar mengetuk pintu itu lenyap, hilang, pergi, entah ke mana.

"Perlu kuketukkan dan kubukakan, hyung? Sudah satu jam. Sebentar lagi jam praktekku dimulai. Aku harus segera pergi"

Hoseok kembali mengorbankan diri. Oh, lebih tepatnya dikorbankan oleh Seokjin. Biasa, butuh teman untuk menangani ketakutan katanya.

"Ya sudah pergi sana! Lihat aku akan langsung mengetuk."

Belum mengetuk, seorang gadis sudah membukakan pintu. Awalnya si gadis memberikan tatapan terkejut. Tapi tatapan itu menjadi menyendu. Sama halnya dengan Seokjin, pemuda itu benar-benar kaget. Tanpa persiapan mental yang matang dirinya langsung dihadapkan oleh seorang gadis.

Seokjin menelisik gadis di hadapannya. Rambut yang mulai panjang. Mata yang sudah tidak sesembap sebelumnya. Kantung mata yang perlahan menghilang. Tapi, kenapa ya, Aera mulai menggunakan baju lengan panjang. Setahu Seokjin, beberapa hari yang lalu Aera masih menggunakan baju pasien lengan pendek.

"Ada sedikit urusan di sini. Tadi aku hanya lewat, dengan---"

Kemana korbannya pergi? Seingat Seokjin, Hoseok masih berdiri di sebelahnya sedetik yang lalu.

"Seokjin oppa. Aku membencimu."

Aera menangis, tanpa suara. Matanya berlinang penuh air mata. Berdiri di depan Seokjin. Tidak memukul dada Seokjin. Hanya masuk ke dalam dekapan yang Seokjin tawarkan untuknya.

"Maaf. Sungguh maafkan aku. Anni. Benci saja aku Aera. Aku tidak berhak mendapatkan maafmu. Kau tidak perlu memaafkan kesalahanku." Seokjin balas memeluk. Rindu sekali dengan aroma tubuh Aera yang sekarang sudah tercampur dengan bau obat rumah sakit.

"Aku ingin oppa pergi."

Berbanding terbalik dengan ucapannya. Aera malah semakin menarik Seokjin, seolah meminta pemuda itu untuk jangan pergi. Bahkan Aera menahan Seokjin untuk tidak melepaskan pelukan mereka.

"Kita masuk di dalam saja." Seokjin menuntun Aera masuk, lalu mengambil duduk di sofa yang disediakan.

Hening. Suasana canggung. Padahal di depan tadi Aera sudah menangis begitu deras tanpa suara ditambah Seokjin yang begitu manisnya memberikan pelukan hangat. Bukankah seharusnya seseorang membuka pembicaraan? Tapi saat masuk tidak ada satu pun yang berbicara.

"Apa kau baik-baik saja?"

"Ke mana selama ini kau oppa?"

Sekalinya angkat suara malah menjadi saling tumpang tindih.

"Kau dulu saja," Seokjin membiarkan Aera berbicara terlebih dahulu.

Tidak perlu perdebatan siapa yang memulai duluan. Jika diberi kesempatan, Aera ambil. "Jawab saja pertanyaaku yang tadi."

"Sibuk dengan pekerjaanku. Giliranmu yang menjawab."

"Aku membaik."

"Yah, dilihat dari caramu berbicara. Aku bisa lihat kalau kau sudah sembuh total."

Tidak mengerti di kata bagian mana yang lucu hingga membuat Aera dan Seokjin tertawa. Cukup tiga menit tertawa terbahak dan suasana menjadi hening kembali.

AmbivalentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang