-
-Gelap. Hal yang pertamakali Aluna lihat adalah gelap. Dengan tubuh yang terhimpit dan tak adanya tenaga untuk bangun, Aluna mencoba meraba sebisanya. Tak ada suara yang ia dengar. Tak ada keramaian yang meneriaki "kecelakaan!" dengan heboh, ataupun sirine ambulance.
Hanya hening. Aluna tak suka keheningan seperti ini. Tangannya masih meraba, sampai akhirnya mendarat pada daratan yang pas. Sepertinya Aluna baru saja menyentuh tangan seseorang. Ada cincin di salah satu jarinya. Aluna tau itu pasti tangan mamanya.
"Ma," panggil Aluna pelan, seraya mengusap tangan Tania dengan pelan. Tak ada jawaban, Aluna meneguk salivanya.
"Elsa?" kali ini Aluna memanggil adiknya. Tangannya mencoba meraba lagi, tapi ia tak bisa menggapai tangan Elsa. Sepertinya yang Aluna raba sekarang adalah wajah Elsa.
Aluna memejamkan matanya sekilas saat darah di wajah Elsa terasa membanjiri telapak tangannya. Rasanya ia ingin menangis. Rasanya ia ingin berteriak memanggil ketiga pahlawannya. Alta, Evgar, Satria, Aluna ingin mereka semua datang.
"Mama," Aluna memanggil Tania lagi. Suranya serak dan bergetar kali ini. Aluna bisa mencium bau asap, gadis itu terisak pelan.
"Luna..."
Akhirnya Aluna mendengar suara Tania. Suaranya terdengar lirih dan sangat pelan. Lemas, Tania mencoba membalas genggaman tangan Aluna.
"Luna Sayang," panggil Tania lagi.
"Mama," balas Aluna seraya memperkuat genggamannya.
Pandangan Tania masih kabur. Namun asap yang mengebul di luar mobil membuatnya langsung menggenggam tangan Aluna lebih kuat. Sebisa mungkin Tania harus membuat kedua putrinya baik-baik saja.
"Elsa, kamu denger Mama, Sayang?" Tania memanggil Elsa, masih dengan suara yang lirih. Tak ada jawaban, tak ada suara malaikat kecil yang Tania dengar.
"Luna, kamu denger Mama?"
"Iya, Ma." Jawab Aluna.
Tania meringis pelan, entah bagaimana caranya menjelaskan rasa sakit yang dirasakannya sekarang. Seakan puluhan anak panah menembus tubuhnya.
"Aluna bisa keluar dari mobil?" tanya Tania. Aluna bergerak perlahan, mencoba mengeluarkan dirinya dari himpitan kursi. Dan Aluna rasa, ia bisa.
"Bisa, Ma." Jawabnya.
Dalam kegelapan, dengan sepasang mata berkaca-kaca yang telah beradaptasi tanpa cahaya, Tania melirik Elsa. Kedua mata Elsa terpejam, darah membanjiri tubuh putrinya. Hanya dengan melihat itu, Tania tau Elsa tak lagi bersamanya.
"Luna dengerin Mama, ya. Kamu keluar dari mobil sekarang, pergi sejauh mungkin cari bantuan, ya?"
Aluna terdiam sebentar. Apakah pergi dan meminta pertolongan adalah pilihan yang tepat? Atau Aluna harus di sini menemani mama dan adiknya?
"Mama dan Elsa?" tanya Aluna.
Tania memejamkan matanya, membuat air matanya langsung menetes. Ia melihat Elsa sekali lagi, menahan sedihnya, sebisa mungkin ia tak membuat Aluna curiga dengan apa yang terjadi.
"Kamu harus cepet keluar dari sini, Elsa butuh pertolongan segera, Sayang." Ucap Tania akhirnya. Aluna mempererat genggamannya, ia tak bisa mendeskripsikan kebingungan segila apa yang ia rasakan sekarang.
"Mama sama Elsa tunggu, ya. Aluna cari bantuan." Kata Aluna, final.
Entah Aluna berkhayal atau tidak,tapi sepertinya tangannya digenggam erat oleh Tania, sangat erat sampai Aluna cukup merasa kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time : Why?
Roman d'amour"Kenapa waktu kita begitu singkat?" pada suatu malam sebelum kau menghilang, aku pernah bertanya seperti itu. "Waktu kita panjang. Hanya saja selama ini kamu memilih menjauh, sebab itu tak ada kenangan, tak banyak waktu yang menyimpan kenangan." I...