"Kamu berbicara perihal sakit hati
Merutuki penyebab sakitmu
Tanpa sadar bahwa ia pun terluka
Ia pun kecewa pada dirinya sendiri"⏳⏳⏳
Matahari bersembunyi di balik gumpalan awan, meninggalkan jejak cantik berwarna jingga. Namun sialnya, Aluna tak bisa melihat kecantikan tersebut, ia terkurung di dalam ruangan gelap dan pengap, tanpa makanan dan setetes air, terkurung bersama dengan ketakutan yang semakin menjadi-jadi.
"Pindahin dia cepet, bawa ke tempat bos." Ucap si preman bertubuh gemuk seraya menunjuk Aluna. Satria yang mendengar itu langsung memelotot, menoleh menatap Aluna yang kini tak lagi bisa menutupi ketakutannya.
"Eh mau diapain?!" tanya Satria saat dua preman lain mulai membuka ikatan tangan dan kaki Aluna.
"Nggak usah banyak tanya lo!" jawab preman tersebut tak suka. Satria meronta, mencoba melepaskan ikatannya, namun sialnya ikatan itu terlalu kencang.
Walau tampak biasa-biasa saja, ketakutan itu terpancar begitu besar dari sepasang mata Aluna. Baru kali ini Satria melihat Aluna memancarkan ketakutan yang begitu besar, ini pertamakalinya.
Aluna tak menyangka bahwa akhirnya akan seperti ini. Ia tak tau bahwa hanya demi memperjuangkan seikat kenangan yang tersimpan di ponselnya, Aluna akan mengalami kehilangan yang lebih besar.
"Lun! Aluna Shaula berontak dong!" kata Satria kesal. Pemuda itu menatap Aluna tajam, Satria benar-benar marah tak melihat pemberontakan dari Aluna ketika gadis itu dipaksa berdiri.
"Jangan coba-coba!" ketus preman yang memegangi lengan Aluna. "Kalau lo kabur, teman lo ini masih ada sama kita! Mau besoknya denger kabar ada mayat di pembuangan sampah?!"
Aluna membalas tatapan Satria dingin, kali ini perasaan Aluna campur aduk. Takut, kecewa, gelisah, sedih semua menjadi satu hingga Satria kesulitan mengartikan maksud Aluna.
"It's ok, gue nggak apa-apa." Ucap Satria akhirnya, mengartikan tatapan Aluna sebagai kebingungan gadis itu untuk meninggalkannya atau tidak.
"Udah bawa cepet ngapain masih diem?!" preman yang tatonya paling banyak itu menyentak dari arah pintu, membuat Aluna langsung ditarik keluar.
"Gue musuh lo kan?! Kehilangan gue nggak akan berarti banyak, Lun!" teriak Satria untuk yang terakhir kalinya, setelah itu Aluna tak terlihat lagi dari pandangan Satria, sedangkan Satria masih mencoba melepaskan tali yang mengikat dirinya.
Ia tak bisa diam saja saat Aluna akan mendapat perlakuan yang buruk, tidak, Satria akan sangat membenci dirinya sendiri jika ia benar-benar tak bisa menyelamatkan Aluna.
Di satu sisi, Aluna mencoba memperlambat pergerakannya menuju sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari gudang. Ucapan Satria tadi terngiang-ngiang di kepalanya.
Kehilangan Satria tak berarti banyak, benarkah itu yang Aluna dengar tadi? Satria mungkin tak tau, bagi Aluna ia adalah segalanya, lebih dari segalanya.
"Gue nggak apa-apa kalau harus ada dalam bahaya, tapi lo harus baik-baik aja. Dalam keadaan begitu, hal yang paling buat gue bahagia adalah saat lo nggak kenapa-napa."
"Basi lo, sat!"
Percakapan dua tahun lalu terputar di kepala Aluna, membawanya pada sebuah pemahaman bahwa yang diinginkan Satria adalah kebahagiaannya. Dan Aluna tak bisa terus berdiam diri, menambah penderitaan Satria di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time : Why?
Romantizm"Kenapa waktu kita begitu singkat?" pada suatu malam sebelum kau menghilang, aku pernah bertanya seperti itu. "Waktu kita panjang. Hanya saja selama ini kamu memilih menjauh, sebab itu tak ada kenangan, tak banyak waktu yang menyimpan kenangan." I...