Masalah yang yang terus menghampiriku selalu sukses membuat pikiranku berantakan. Seperti sekarang, aku sedang tidak fokus saat guru sialan ini menjelaskan materi yang aku tak paham sama sekali. Dia selalu menjelaskan angka-angka dan rumus-rumus yang entah dari mana datangnya dan siapa penciptanya.
Mataku terus memandang papan tulis yang sudah berisi banyak rumus itu. Sumpah, aku sama sekali tak tau apa maksud dari semua itu. Percayalah, aku di California pun tak sepintar Albert Einstein. Aku juga gak sekreatif Thomas Alfa Edison bisa membuat bola lampu. Aku hanya seorang manusia biasa yang emosinya naik turun dan tak suka makan seafood. Itulah aku.
Selain memandang papan tulis, aku juga sesekali melirik tengkuk Bima yang duduk di hadapanku. Aku seperti merasa bersalah dengan pria itu. Lagian, ngapain juga dia ngurusin pertemanan ku? Aku bebas berteman sama saja. Bahakan, popi saja tak pernah melarangku berteman dengan siapa saja. Pesan popi, ingat batasan. Ya, aku ingat batasan. Aku gak ngisap ganja, aku gak merokok, atau narkoba. Semua hal itu aku jauhi.
Ketika aku hendak mencolek pundak Bima dengan pulpenku, aku sudah duluan di colek Fachry dari belakang. Niat itu aku urungkan dan langsung memundurkan badanku ke belakang.
"Popi datang ya?" tanya Fachry berbisik tepat di telingaku.
Aku yang kaget dengan pertanyaan itu langsung berbalik menatap pria itu di sana. Dia sama sekali tak merespon. Bahkan dia balik menatapku.
"Kamu tau dari mana?"
"Jessie."
Dasar mulut jalang sialan. Aku sudah duga, setiap informasi yang Fachry dapat tentang aku itu pasti dari Jessie. Anak itu memang tak membenci Fachry sama sekali. Aku jadi curiga, saat Fachry mengajak ku jalan-jalan saat di California waktu itu adalah rencana Jessie. Gak mungkin sebuah kebetulan Jessie bisa berada di sana.
"Iya," jawabku akhirnya.
"Aku boleh mampir? Aku kangen popi, semenjak kepergian kamu, aku gak pernah lagi datang ke rumah."
"Ngapain? Gak usah, gak nerima tamu!"
"Terserah, aku tetap datang!"
"UDAH DIBILANG GAK USAH!"
Seketika suasana kelas hening. Aku yang tanpa sadar berteriak tadi pun langsung menoleh ke arah teman sekelasku yang kini sedang menatapku. Termasuk guru sialan itu. Aku tersenyum kikuk lalu menatap Fachry tajam. Yang bikin kesalnya, pria itu malah tertawa di atas penderitaan ku sekarang.
"Ada apa Razka?"
"Oh, enggak pak, tadi saya ngigau."
"Kamu tidur di kelas saya?"
"Hah? Enggak pak, gini."
"Keluar kamu!"
"Tapi pak-"
"Mau keluar sendiri atau saya paksa keluar?"
"Iya pak iya," aku berdiri. Sebelum benar-benar pergi dari kelas, aku kembali menatap Fachry dan menggertaknya sedikit.
"Siapa yang kamu lihat?"
"Hah? Enggak pak, itu ada setan di belakang," aku langsung lari keluar dari kelas sebelum bapak sialan ini menghantamku.
***
Fachry menemuiku di taman sekolah. Ia langsung mengacak-acak rambutku. Aku yang masih punya dendam langsung menepis tangan itu dan manatapnya tajam. Remaja yang ada di sampingku ini sekarang sudah berhasil membuat mood ku yang awalnya rusak semakin rusak.
"Maaf," ucapnya.
"Udah lama aku gak mukul wajahmu yang tampan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me Like You Do [end]
Teen Fiction#1 - bromance (9/27/2020) Kalau kalian membaca cerita ini, pastikan kalian sudah membaca My Annoying Boss. Karena, ini lanjutan dari kisah kehidupan mereka. Lebih tepatnya anak mereka. Yes!!! Razka Faris Asgard. Selamat menikmati dunia Razka!!!! Co...