XXXIV - Choice

4.7K 440 59
                                    

Kejadian yang membuat aku menjadi berpikir lebih jauh itu ya kemarin. Di saat papa dan popi mengintrogasiku karena kebodohanku yang kabur dari rumah. Tanpa ada masalah, tanpa ada kendala. Itu semua benar-benar pure kesalahan ku sendiri. Jika popi sama papa marah, itu adalah hal yang wajar.

Tingkah konyol yang selama ini aku lakukan memang sangatlah kekanak-kanakan. Aku bahkan tak bisa mengontrol emosiku jika aku dipeluk amarah. Sama seperti papa yang juga tak bisa mengontrol emosinya. Tapi, papa masih bisa mengendalikannya. Itu juga karena papa sudah menjadi kepala rumah tangga. Apa akh harus menjadi kepala rumah tangga supaya aku bisa bersifat dewasa?

Menjadi dewasa bukan hal yang sangat mudah. Aku masih berumur 16 tahun. Bisa dibilang sebentar lagi aku 17 tahun. Tahun depan aku sudah berada diujung pendidikan masa putih abu-abuku. Jika aku masih bertingkah seperti anak kelas 3 SD, artinya aku memang tak bisa dewasa.

Aku tau, jadi dewasa itu tidak asik. Aku masih pengin dimanja. Aku masih pengin disayang. Aku masih belum siap harus berdiri di kakiku sendiri. Untuk saat ini, berdiri di kaki popi sama papa masih terlalu nyaman. Aku takut kalau nanti aku berdiri di kakiku sendiri, seluruh kehidupanku hancur berantakan.

Dalam kehidupanku, aku tam pernah sedikitpun membayangkan Fachry datang. Kedatangannya dulu murni membuat aku emosi dan sangat membencinya. Tapi, sejak kejadian di mana wajah kami berdua babak belur, dia seakan berubah. Seperti ada penyihir yang mengubah sikapnya menjadi pria yang sangat lembut, baik, murah senyun dan ramah. Aku bahkan tak bisa menyangka, Fachry kini sangat baik, aku tak bisa menyangkalnya. Kebencianku atas dirinya seakan hilang sudah. Yang dulunya aku ingin dia enyah dari dunia, kini malah aku ingin dia selalu berada di sisiku.

Dunia emang serandom itu. Ternyata benci jadi cinta itu benar adanya. Tapi, aku masih belum mencintainya. Aku hanya sekadar suka saat dia bersikap baik seperti ini. Tidak menghinaku lagi. Bahkan, dia sudah terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukaiku, masih menyukaiku, dan akan tetap menyukaiku sampai akhir hidupnya. Aku tak tau harus apa. Aku ingin memperbaiki keturunan papa. Tapi, kedatangan Fachry membuat aku bimbang akan hal itu. Apa ini penyakit keturunan?

Apa gay itu terjadi karena keturunan?

Entahlah. Sekarang aku hanya akan terus menjalani hidup dengan dua orang yang sudah mengatakan cintanya padaku. Aku masih belum bisa menjawabnya. Tapi, dari semua hal yang terjadi, aku membiarkan waktu yang menjawab semua kebimbanganku ini.

"Fachry," paggilku pada Fachry yang kini duduk di ujung kasur. Kami berada di kamarku saat ini. Hanya berdua. Sejak introgasi papa sama popi kemarin, Fachry menginap di sini. Dia bahkan bolos sekolah demi menemaniku dan membantuku menenangkan pikiranku.

"Apa?" jawabnya sembari memainkan hpnya. Melihat sesuatu yang sama sekali tak membuat aku penasaran. Aku hanya berbaring dan terus menyapu pandanganku pada Fachry yang kini bertelanjang dada.

"Kamu balik sana!" Fachry berhenti melihat hpnya dan beralih menoleh ke arahku. Dia menatap ku. Menitikkan pandangannya tepat di retina matamu. Manik mata yang kini sangat aku sukai itu terus aku lihat tanpa menoleh ke arah manapun..

"Udah tenang?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Aku khawatir padanya yang terus-terusan menjagaku. Padahal, aku ini laki-laki. Aku juga bisa menjaga diriku sendiri tanpa harus campur tangan orang lain. Aku juga ingin bersifat dewasa.

Aku bisa kan jadi dewasa?

Pria yang bertelanjang dada itupun tersenyun dan menaikkan ujung bibirnya. Senyum indah yang belakang ingin menjadi candu buatku membuat duniaku terasa berubah. Aku merasa, Fachry benar-benar mencintaiku. Tapi, hal bodoh yang aku lakukan adalah, bimbang karena perasaanku. Mungkin, hal pertama yang aku lakukan adalah harus memantapkan perasaanku. Agar aku tak bimbang lagi dan bisa menerima kenyataan terhadap diriku sendiri.

Love Me Like You Do [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang