XXXII - Menyesal

4.9K 432 42
                                    

Aku merenung sendirian di atas kasur. Menenggelamkan kepalaku pada sela-sela kakiku yang saat ini ku peluk. Aku tak tau lagi berbuat apa. Tanpa hp, tanpa popi, tanpa papa, juga tanpa Fachry. Semua ini ku lakukan bukan karena aku mau. Tapi, suasana memaksaku untuk melakukannya. Ini semua adalah kehendak duniaku sendiri. Aku bahkan tak ingin menjauh dari popi. Sungguh.

Mataku mulai panas mengingat semua kejadian yang selalu menimpaku akhir-akhir ini. Aku juga tak suka dengan usiaku yang semakin hari semakin bertambah. Aku mau jadi anak-anak saja. Selalu disayang popi, belum tau apa itu cinta, dan tak bingung dengan perasaan. Aku mau terbebas dari semua masalah yang selalu menghantuiku setiap saat.

Kehadiran Fachry membuat duniaku sedikit berbeda. Si musuhku, tapi aku tak mau jauh darinya. Dia kini temanku, tapi kini aku malah ingin menghindar. Sebenarnya, apa yang terjadi dalam hidupku ini? Mengapa semuanya terjadi bertolak belakang dengan apa yang aku alami. Sampai kapan aku akan terkurung dalam kebimbangan ini aku pum tak tau.

Papa mengirimku ke Indonesia. Bukan membuat aku menjadi menikmati masa remajaku. Malah aku semakin dibuat bimbang karena kehadiran Bima yang tak pernah aku bayangkan. Dia datang memberikan segala kepedulian dan membuat aku merasa nyaman di dekatnya. Tapi, entah karena suasana atau perasaan, semuanya terasa aneh saat dia mengatakan kalau dia menyukaiku. Begitu juga dengan Fachry.

Aku mau menjauh dari mereka, tapi aku gak bisa. Mereka itu sudah seperti keluarga bagiku. Apalagi, belakangan ini, Fachry memberikan perhatiannya padaku lebih dari seorang teman. Aku bisa melihat dari semua perlakuannya kalau dia memang benar-benar menjagaku. Dia sudah seperti pahalawan saat aku sedang kesusahan. Dia selalu ada buatku.

Kalau aku diizinkan untuk memilih, aku tak bisa. Jika memang keduanya bisa aku dapatkan, kenapa aku harus memilih? Tapi, kembali lagi dengan perasaan. Mungkin aku akan menyakiti salah satu hati mereka. Itulah mengapa aku tak bisa menjawab permintaan mereka.

Suara ketukan pintu menyadarkanku. Aku terkesiap dan mengangkat kepalaku. Sekali lagi, ketukan pintu itu memang benar dari kamarku. Aku langsung mengusap air mataku kemudian beranjak dari tempat tidur. Sampai di depan pintu, aku langsung membukanya.

Ketika melihat orang yang mengetuk pintu itu, aku langsung terdiam. Mulutku terkatup rapat. Aku sempat berpikir sejenak. Apakah pikiran kami sudah satu atau gimana akupun tak tau. Orang yang mengetuk pintuku adalah Fachry. Iya, Fachry Rizki Mahendra. Orang yang baru saja aku pikirkan.

Entah ini gerkan reflek atau apa, tiba-tiba saja aku memeluk tubuh pria itu. Menenggelamkan wajahku di bahunya. Membasahi jaket jeans kesukaannya. Aku juga merasakan tangannya memeganh punggungku dan mengusapnya lembut.

"Kenapa?" tanya Fachry.

Aku hanya diam sambil terisak di pelukannya. Perlakuan ini membuat aku terlihat sangat lemah. Tapi, bukan karena aku laki-laki, jadi aki gak bisa nangis. Aku bisa nangis kapan saja. Emosiku kini sudah terlampiskan dan memang aku sedang butuh bahu untuk bersandar.

"Tenang, aku di sini kok, kamu kenapa nangis?"

Mulutku masih tak bisa mengutarakan apa yang aku pikirkan. Aku terus menutup wajahku di bahunya. Terisak dan tak mau mengatakan apa-apa.

"Sshhh... Jangan nangis," dia mengusap rambutku. Menenangkan ku dengan sentuhan lembutnya.

Perlahan Fachry memegang kedua pundakku. Melepaskan pelukanku. Dia menatapku sendu. Ibu jarinya mengusap air mataku yang sempat membasahi kedua pipinya.

"Kamu kenapa mangis, hm?" tanyanya.

Aku tak menajawab. Aku masih terisak. Mataku menatapnya yang kini masih menatapku. Dia tak ada marah sedikitpun. Walaupun kemarin aku membuatnya sakit hati. Bukan hanya kemarin, bahkan hampir setiap hari. Tapi dia selalu baik padaku.

Love Me Like You Do [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang