XXVII - Menghilang?

5.1K 433 55
                                    

Aku terdiam di kursi belakang sambil melihat ke luar mobil. Pikiranku masih tidak karuan. Teringat tentang permintaan Bima dan ucapan Fachry yang masih terus terngiang di kepalaku. Yang satu mengajari aku untuk kuat yang satu mengajari aku untuk semangat. Kadang aku bingung, kenapa mereka berdua harus pria? Apa ini sudah takdir yang Tuhan berikan agar aku menyukai pria juga?

Setiap kali aku berdoa, aku ingin berbeda dari kedua orang tuaku, apa itu salah?

Apa karena papa dan popi seperti itu membuat aku harus seperti itu juga?

Entahlah, aku sudah gak paham tentang dunia yang masih setia mengolok-olokku.

"Kamu kenapa?" pertanyaan popi berhasil membuat aku terperanjat dan langsung menatap pria yang duduk di samping papa yang sedang menyetir.

"Gakpapa," jawabku lesu. Aku kembali melihat jalanan kota yang tak terlalu macet.

"Sejak di rumah sakit murung terus, kenapa?"

"Gakpapa pi, coba deh, urusin urusan popi aja, gak usah urusin urusan Razka."

Kalimat itu keluar begitu saja membuat aku menyesal setelahnya.

"Kamu kok gitu ke popi?" timpal papa. Pria itu menatapmu dari kaca.

Aku melirik ke bagian depan. Di sana sudah ada tangan popi yang menyentuh paha papa. Pria itu mungkin berusaha menyabarkan papa. Memiliki sifat tempramental aku dapatkan dari papa. Jangan salahkan aku memiliki sifat seperti ini.

Kadang aku berpikir, bagaimana jika aku menghilang saja. Kalau bisa menghilang dari bumi. Gak ada yang bisa menemuiku. Terbebas dari segala masalah. Tanpa memikirkan aku harus apa. Yang ada hanya kebebasan. Aku menginginkan itu.

Kalau aku menghilang, apa ada yang mencariku? Adakah dari antara mereka ini peduli? Apakah mereka akan mencariku? Entahlah, aku hanya penasaran.

Mobil hitam milik papa masih berjalan santai menyusuri jalanan kota. Sejak bentakan kecil papa tadi menimbulkan keheningan sampai kami di rumah.

Aku turun dari mobil dan langsung masuk ke rumah. Tanpa menyapa kakek nenek di ruang tengah, aku terus berjalan sampai akhirnya aku masuk ke kamarku. Menutup pintu dan langsung duduk di ujung spring bed.

"Aku mau kamu jadi pacarku."

"Jangan menggantung perasaan orang."

"Kalau kamu gak suka dia, tolak dengan baik-baik, tapi kalau sebaliknya, yaudah terima."

Semuanya tiba-tiba terlintas di kepalaku. Aku juga seketika mengingat ekspresi Fachry saat mengatakan kalau dia akan menjaga perasaannya. Aku paham itu. Tapi aku pura-pura tidak mengerti di hadapannya. Jujur dari hati yang paling dalam, aku gak tega menyakiti perasaan pria itu. Dia sudah disakiti saat kepergian kedua orang tuanya. Dia hanya butuh seseorang yang bisa menambah semangatnya kembali. Aku ingin jadi orang itu.

Di sisi lain, aku juga tak bisa melihat kesedihan di wajah Bima. Pria itu selalu tersenyum di hadapanku. Selalu memberiku semangat. Dia tak pernah sekalipun mengucilkanku sekalipun dia tau keadaan keluargaku. Dia sangat tulus. Aku berharap dia menjadi teman yang pantas buatku. Tapi, dia malah salah paham. Aku jadi bingung. Memilih untuk menjauh atau gimana aku gak tau.

Tuhan, ini terlalu berat. Dari semua masalah yang ku hadapi, kenapa masalah ini tak bisa aku hadapi. Masalah hati yang terlihat mudah tapi sangat sulit. Aku gak bisa mengatasinya. Bantu aku. Beri aku satu petunjuk dan aku akan cari jalan keluarnya.

Ditengah perdebatanku dengan akal pikiranku, pintu kamarku terbuka dan menampilkan wajah popi. Pria itu langsung menuju ke arahku dan duduk tepat di sampingku. Wajahnya tidak menggambarkan kekecewaan sedikitpun. Pria itu malah meraih tanganku lalu menggenggemnya dengan kedua tangannya.

Love Me Like You Do [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang