"Masuk aja,"
Gue menelan ludah gue sendiri. Jujur aja, selama gue ngajak jalan cewek, kayaknya baru pertama kali ini gue super gugup karena main ke rumahnya. Kalo dulu, jaman SMA mah kan belum berani—lagi pacarannya jaman bocah itu masih cinta monyet. Gue kagak ada niatan serius sama siapapun.
Ya, kecuali untuk ini si. Karena gue niatnya emang mengenal Kia. Terus kalau emang jodoh, tinggal nunggu apalagi sih? Gue juga udah empet banget sendirian terus.
"Eh, Mas Dokter. Duduk Mas, nunggu Kia siap-siap dulu,"
Pas gue masuk, langsung salim ke Ibu Im dan seorang bapak-bapak yang gue asumsikan beliau adalah ayahnya Kia, lalu duduk di ruang tamu. Ibu Im pergi ke dalam rumah, dan gue duduk ditinggal berdua sama bapak ini. Rumahnya tenang, hening, ada suara burung peliharaan yang berkicau.
"Oh, ini, Dokter Yoongi, ya?" Kata bapak itu.
Gue mengangguk, "Iya, pak, Ibu Im kalau konsultasi sama saya," Jawab gue, mencoba santai.
"Hmm, saya Ayahnya Kia,"
Tuh, kan.
"Tapi kayaknya kesini bukan karena Ibu Im deh, iya kan?"
Tuh, kan. Panik deh gue.
Gue senyum aja, "Iya itu.. Izin mau keluar bareng Kia, Pak," kata gue.
Ayahnya Kia—atau gue panggil, Bapak Im, mengangguk sambil mengeluarkan senyum yang rada aneh. Gue rasa, kerandoman dan periangnya Kia nurun dari ayahnya.
Gatau juga si, gue cuma mau sotoy aja.
"Iya sama Bapak mah, gak usah tegang," kata Bapak Im, "Biar kenalan aja dulu, ya gak? Bapak denger, kamu temennya Hira tuh. Makanya kalian ketemu di resepsinya Hira, kan?"
Gue ngangguk, "Iya, bener Pak," gue kok kayak lagi sidang skripsi ya. Pasti Bapak Im denger dari ceritanya Kia.
"Nah..."
Enggak lama kemudian, Kia keluar dalam keadaan rapih. Gue gak bisa deskripsiinnya, pokoknya, cantik deh.
Iya masalah gini aja gue masih kaku banget.
"Kapan-kapan ngobrol lagi ya," kata Bapak, "Pulangnya jangan malem-malem, loh,"
Kia ngangguk, "Iya, Yah,"
.
.
.Perasaan gue bilang, kalau orangtuanya Kia itu ngasih sign lampu hijau buat gue. Gue paham, tapi yang masih macet itu pikiran sama komitmen gue. Beneran suka, gak? Beneran serius, gak? Beneran komitmen sama dia, gak? Soalnya kalau gue bicara gamblang soal perasaan gue, gue takut nyakitin perasaannya Kia. Selain itu, gue juga gak tau apa yang dirasain Kia.
Susah juga, ya. Padahal gue mau make it fast, before it's too late.
Gue punya limit waktu sebelum gue harus kembali ke Jerman.
Sekarang, Kia lagi ngeliat-liat buku referensi sejarah. Gue sendiri lagi ada di sebelahnya, ngeliat buku-buku SMA yang bikin gue nostalgia saat sekolah dulu. Gue inget aja Seokjin minjem buku catetan gue, lalu ilang. Dan saat gue minta balik pas mau ujian, gue ngamuk sama dia. Walaupun hasilnya bagus, sih. Seokjin nyogok gue dengan traktir baso, dan saat itu kita baikan. Tapi catetan yang gue tulis rapih-rapih itu enggak pernah kembali.
Tuh 'kan, gue jadi flashback masa SMA gue.
"Ibu udah mendingan kan, Ya?" Tanya gue.
Dia berdeham, mungkin sambil mikir san milih buku, "Hmm... Iya kok, Gi, Tapi kadang sakit lagi kalau obatnya udah abis," kata Kia.
Ya emang begitu. Enggak ada obat buat nyembuhin, adanya cuma painkiller yang ngilangin rasa sakit di tempat peradangan sendi ada. Sakitnya bisa kambuh lagi.
"Aku penasaran deh," Kia berdiri sambil megang salah satu buku paket sejarah yang agak tebal, "Boleh tanya, gak?"
"Kalau nanya sejarah, saya udah lupa," kata gue.
Kia ketawa, "Bukan itu! Aku mau nanya tapi takut kamu tersinggung,"
"Iya nanya aja Ya," kata gue.
"Kan kamu udah kenal ayah sama ibu aku. Kalau aku kenal orang tuanya Yoongi, boleh gak? Gitu. Kalau gak juga gapapa, sih,"
Orang tua gue, ya.. gue ngehela nafas perlahan, sambil jalan pelan dan diikuti sama Kia.
"Ibu saya udah enggak ada, Ya. Kalau mau, saya anter ke makamnya. Kalau Ayah..."
Raut wajah Kia berubah, "Maafin aku ya, aku gatau apa-apa soal kamu," katanya, melas.
Gue ketawa kecil, dia natap gue setelahnya. "Gapapa, kok,"
"Nah, kalau Ayah saya.. tinggal di Jerman. Gimana?" Lanjut gue.
Kia mengambil nafas panjang, "Jauh juga, Ya,"
"Mungkin kapan-kapan saya mau ke Jerman, kamu mau ikut?" Kata gue.
Kia nggeleng, "Jauh banget! Lagian juga enggak bakal dibolehin sama Ayah, Ibu," ujarnya.
Sepintas gue mikir. Kok bisa Kia kepikiran gini, ya? Minta kenalan sama orang tua gue. Apa jangan-jangan selama ini dia udah nangkep apa yang gue maksud...?
Overthinking trosss.
"Kalau saya yang minta izin, terus dibolehin, gimana?" Tanya gue.
Terus dia ketawa, "Ahaha, gak usah repot-repot lah Gi, kapan-kapan aja. Selain terlalu jauh, kita juga cuma temen. Takutnya gak penting, nanti malah buang waktu, ya 'kan?" Lalu dia jalan cepat menuju kasir, untuk bayar buku yang dia ambil tadi.
....Iya juga, gue baru temenan aja.
Kalimat itu seperti oli yang bikin gear di otak gue tuh jalan. Juga bisa jadi anak panah karena nusuk banget ke hati gue.
Apa bener dia? Apa bener gue harus bilang? Kalau gue mau serius sama dia.
Tapi balik ke kalimatnya tadi, iya, gue cuma temen sama Kia. Enggak kurang, enggak lebih.
Di sisi lain, waktu gue tinggal sedikit. Gue harus nepatin kalimat gue.
Duh, gak bisa nih. Gue gak mau dia cuma nganggep gue temen, bodo amat kalau emang kita baru kenalan. Toh dari awal emang semua ini udah kebetulan yang disengaja sama Tuhan, gue yakin banget.
Karena disaat gue butuh sesuatu untuk menyembuhkan patah hati, gue bertemu Kia.
Bahkan disaat gue belum sadar kalau dia yang bakal ada di masa depan gue.
.
.
.Thank u, happy reading.
See u ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY
Fanfiction[STATUS SEQUEL] Patah hati di hari bahagia dan sepiring nasi yang diambil dari prasmanan. Banyak hal baik yang kebetulan ditemukan oleh Yoongi setelah patah hatinya, tapi ritmenya terlalu rapih... Apakah benar hanya kebetulan, atau memang sudah dita...