10. Pergi

107 23 4
                                    

Hamburg, Jerman.

Sebuah tempat yang sudah lama enggak gue kunjungi. Mungkin terakhir kali, sebelum gue wisuda. Itu udah 4 tahun yang lalu.

Cuacanya dingin. Langitnya mendung. Mungkin sebentar lagi mau hujan, entah itu air atau malah salju, karena gue pergi pada awal bulan Desember.

Jemari yang ada di genggaman tangan gue seakan-akan membeku. Saat gue menoleh, wajahnya benar-benar memerah dan dia enggak bisa menutupi excitementnya soal kota dimana ayah gue tinggal. Kia kelihatan benar-benar jetlag dan sekarang dia mulai kedinginan. Beberapa saat setelah turun pesawat gue bergegas buat nganterin dia beli beberapa setel padding di airport, untuk persiapan beberapa hari ke depan.

Tanpa kita ketahui suhu di Jerman itu udah minus sekian derajat celcius. Dibandingkan dengan di Seoul, terakhir gue lihat sih masih sekitar 5 atau 4 derajat celcius. Sudah jelas, Jerman bakal lebih dingin, sampai padding yang biasa dipake pun enggak bisa menghangatkan diri lagi. Bahkan gue rasa tahun ini saljunya datang lebih cepat dari tahun sebelumnya.

"Mau makan dulu enggak, Ya?" Tanya gue, ketika kami baru keluar airport dan sedang menunggu bis untuk membawa kami ke kota. "Tapi, disini enggak ada bubur ayam, haha," lanjut gue sambil bercanda.

"Aduuuh, dingin banget! Padahal enak kalau ada bubur ayam," kata dia. "Apa yang ada aja deh,"

"Yaudah mungkin nanti di flat kita bisa masak, ya? Belanja dulu gapapa? Pusing gak?"

Kia menoleh ke arah gue dan menggelengkan kepalanya, "Enggak! Aku penasaran sama supermarket di Jerman!"

Huft, syukurlah. Karena ribet kalo belanja sendiri di Jerman. Sebenernya belanja sendiri dimanapun itu pasti ribet, tapi kalau ada temennya mudah-mudahan gak pusing deh.

Sesampainya gue di pusat kota, gue dan Kia langsung belanja bahan makanan. Malam ini gue lagi-lagi pengen makan sup, dan Kia bilang dia percaya diri dalam masak jadi dia bilang nanti dia yang bakal masak. Gue sih, OK aja. Yang penting anget dah di cuaca dingin kayak gini.

Di Hamburg, gue disediain flat sendiri sama ayah. Ayah itu emang selalu punya lebihan rezeki dan kebetulan Ayah menyisihkannya untuk gue. Beliau juga tau gue gak akan 'akur' sama Junki, jadi beliau beliin gue flat di Jerman barangkali kalau gue mau menetap di sana. Tapi sayang, gue nempatinnya kalau gue pengen libur aja. Seoul udah jadi rumah buat gue, dengan segalanya yang sudah menjadi kebiasaan gue. Beda lagi kalau rumah gue yang di Seoul, ya, itu hasil gue nyicil dari gue baru banget dapet gaji pertama kali sebagai dokter. Pokoknya barang-barang gue selama di Seoul itu hasil kerja gue deh.

Nah, omong masalah Junki, gue juga khawatir sebenernya. Kia belum tau apapun soal dia dan gue gamau dia kaget tentang sikapnya Junki ke gue. Jadi nanti di flat akan gue bicarakan sama dia deh.

Dan jujur, gue bener-bener khawatir kalau Junki ketemu sama Kia, sih.

.
.
.

Flat gue, seperti biasa, sepi. Enggak pernah ada yang nempatin, kecuali mungkin ada yang bantu bersihin setiap seminggu dua atau tiga kali. Kia duduk di sebuah bangku yang menghadap ke kaca, memperlihatkan pemandangan Jerman yang mungkin jarang dilihat sama dia. Kayaknya tadi dia baru nerima telfon dari Jakarta, tapi gue gak tau dari siapa. Mungkin ngabarin Ibu atau ayahnya kalau dia baru banget sampe di sini. Sementara gue bawa barang belanjaan ke dapur untuk diberesin.

"Kita ketemu Ayah nanti malem, Ya. Kamu tidur dulu aja kalau gaenak badan,"

Tadi, gue udah bicara soal sifatnya Junki dan segalanya yang perlu dia tau soal keluarga gue. Dan gue udah menghimbau Kiabuat hati-hati sama abang tiri gue yang rada sedeng itu. Kia pun setuju dan paham sama apa yang gue ceritakan.

Dia menoleh ke gue pelan dan tersenyum kecil. Saat gue menatapnya, gue sempet balas senyuman itu. Tapi perasaan gue rada gaenak. Kenapa, ya? Padahal tadi gue udah bicara soal abang gue.

"Gi, aku mau tau..."

Dia angkat bicara. "Kenapa?"

"Kamu punya hal yang mau disampein lagi ke aku, gak?"

Gue mengambil nafas panjang, berpikir, kenapa ni anak tiba-tiba nanya begitu?

"Mungkin satu hal yang penting? Karena aku belum terlalu kenal kamu," tanyanya.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Yang tadi kurang jelas?"

"Enggak.. gak apa-apa, sih," dia bangkit dari duduknya dan melihat ke arah gue. "Aku numpang tidur, ya,"

.... Gue mengangguk, dan melihat dia pergi ke kamar tamu yang ada di flat gue. Ooh, tiba-tiba gue takut ada hal yang gak gue inginkan terjadi nantinya.

I'm afraid of something unseen. It's like she knew something that i haven't told her.

.
.
.

HeheThank you, happy reading!!!See u 💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hehe
Thank you, happy reading!!!
See u 💜

SERENDIPITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang