15. Father

90 26 3
                                    

Siang menuju sore, saat Kia sedang melihat-lihat di toko barang antik. Ponsel gue berdering, yang ternyata Ayah mencoba menghubungi gue.

Ayah meminta gue untuk datang ke flatnya, tapi sendiri. Tanpa Kia. Untuk sesaat gue mengalihkan pandangan ke cewek yang sedang memilih barang tertentu, gue mengambil nafas, dan menghampirinya.

"Ya?"

"Hm? Kamu milih yang mana?"

Kia menunjukkan gue dua barang. Yang satu globe mini ukiran berbahan dasar kayu, barang lainnya dua bag charm yang bentuknya burung hantu.

"Burung hantu," kata gue. "Ya—"

"Oke, Owl ya, aku bayar sebentar,"

Sementara dia pergi ke kasir, gue keluar toko dan melihat jalanan yang hampir enggak terlihat aspalnya karena ketutup salju. Dingin banget, bre.

"Kenapa, Gi?"

Nah, itu Kia baru keluar. Ngasih gue satu bag charm itu. Tadinya gue mau bilang kalau dia harus pulang sendiri, atau jalan-jalan sendiri asal enggak nyasar—tapi gue keheranan duluan.

"Kenapa kasih ke saya?" Tanya gue.

Kia menatap gue sesaat, "Hm, kamu satu, aku satu, itu aku beliin! Awas aja kalau ilang,"

"Hmmm gitu... Oke, makasih ya," kata gue. "Oh ya, Ya, maafin ya. Saya dipanggil Ayah, nih," lanjut gue.

Kia yang sibuk memasang bag charm di tas selempangnya itu bertanya, "Ada apa?"

"Enggak tau, disuruhnya saya sendiri yang kesana. Kamu gapapa sendirian?"

Lalu gadis itu menatap gue dengan tatapan kecewa. Iya, gue tau, janji gue kan jalan-jalan. Tapi kalau udah panggilan bokap, mau gimana lagi.

"Yah.. ya gapapa, sih," katanya.

"Kalau mau jalan-jalan jangan nyasar, ya," kata gue.

Kia mengangguk, "Iya! Kan ada teknologi yang namanya Maps, baru tau?" Kata Kia ngeledekin gue.

Gue kesel. Gue pun menarik kepalanya dan mengecup keningnya untuk sesaat, "See you later,"

.
.
.

Kalau kalian mengira hidup gue gak seribet itu, salah. Beneran ribet deh hidup gue. Ngadepin 'abang' yang childish dan gagal move on dari masa lalu, yang sampe sekarang selalu aja diungkit padahal Ibu gue juga sekarang mungkin udah menyatu kembali dengan alam.

Gue tau, mungkin Junki merasa Ayahnya direbut sama Ibu gue. Dia selalu mencari yang negatif dari Ibu gue dengan bilang kalau Ibu hanya ingin memanfaatkan kekayaan Ayah.

Saat Junki bilang gitu ke Kia, gue mengerti betul perasaan Ayah. Pasti sakit hati karena wanita yang Ayah cinta itu dimaki 'cuma manfaatin', tapi enggak bisa murka karena dia anak kandungnya. Gue pun begitu, mau bagaimanapun, gue bareng sama dia dari kecil dan udah diajarkan sopan santun. Gue masih ingin bersikap baik walau kemarin, kalau saja gue beneran hilang akal, gue beneran pengen gamparin dia sepuasnya karena udah ngelukain Kia.

"Sekali lagi, ayah minta kamu maafin Junki, ya,"

Gue mengambil nafas panjang, "Udah bosen, Yah. Enggak perlu ditanya lagi," kata gue.

Ayah sudah tau kejadian kemarin. Mungkin karena ribut, jadi tetangga yang denger tau dan langsung kabarin ke Ayah.

"Ayah tau kok, kamu bisa diandelin. Karena itu Ayah selalu percaya kamu, Gi," kata Ayah.

"Tapi gara-gara mulutnya dia depan Kia...."

Ayah menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa, "Dia trauma, mungkin karena Ayah menikah lagi sama Ibu kamu. Makanya dia jadi gitu. Semua ini salah Ayah," ujarnya.

Junki berusia tujuh tahun ketika ayah menikah sama Ibu gue, dan berusia delapan tahun saat gue lahir.  Gue gak paham kenapa anak umur segitu mikirnya udah berat banget. Seperti yang pernah gue bilang, dia cengeng, dan malah jadi cenderung negative thinking. Lagi anak mana yang enggak shock, disaat umur segitu, harus pisah sama ibu kandungnya dan punya ibu baru? Untuk sebagian mungkin mereka akan menerima kenyataannya. Tapi pada kasusnya Junki, dia enggak mau membuka hatinya.

Karena yang gue tau, Ibu kandungnya Junki itu masih hidup sampai sekarang. Ayah cerai sama Ibu kandungnya Junki karena wanita itu justru selingkuh sama pebisnis lain. Lihat, sebenarnya siapa yang cinta karena melihat kekayaan disini? Gue gak mau mengungkapkannya karena dia juga pasti udah tau, tapi enggak mau menerima kenyataannya.

Ibu kandung gue, beliau memang datang dari keluarga yang biasa-biasa aja. Tidak terbiasa hidup glamor, di dalam dunia penuh material. Yang gue pernah dengar dari cerita Ayah, beliau bertemu dengan Ibu saat melihat Ibu menangis karena gagal lanjut sekolah kedokteran karena biaya dan kondisinya.

Ya, salah satu alasan gue jadi dokter adalah Ibu dan Ayah gue.

Ibu gue merawat Junki dan gue dengan baik. Beliau mengajarkan gue banyak hal. Gue selalu menerimanya dengan baik, tapi Junki tidak pernah mau mendengarkan Ibu. Walau begitu, Ibu tetap sabar sama gue dan Junki.

Hidup Ibu memang membaik setelah menikah sama Ayah. Tapi nyatanya, ada roda kehidupan yang terus berputar. Ibu sakit kanker rahim selama setahun dan meninggal saat gue berusia 14 tahun.

"Enggak apa-apa, Yah. Selama Kia baik-baik aja, aku juga akan berusaha melindungi dia,"

Bertemu dengan Kia, sekali lagi, mata gue terbuka. Gue merasakan rasa nostalgia yang kuat—seakan gue kembali bersatu sama Ibu, tapi perasaannya lebih kuat dan menggerakkan hati gue. Mungkin karena gue melihat Kia sebagai seorang wanita, pasangan hidup yang akan menemani gue sampai nanti.

Setidaknya, sampai gue mati.

.
.
.

Thank you 😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thank you 😁

SERENDIPITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang