08. Bicara

95 24 6
                                    

Minggu, pukul 10 pagi.

Gue duduk di ruang tamu rumahnya Kia, berhadapan dengan Ibu dan Bapak Im Sesuai permintaan orang tuanya Kia, gue dateng, iya dengan modal nyali aja. Modal materinya nanti kalau udah fix.

Gue ngangguk, grogi total.

"Ya, karena, Bapak mau bicara nih, pertama-tama, Bapak mau minta maaf sama kamu karena Kia, anak gadis bapak satu-satunya, mungkin menimbulkan kesalahpahaman," kata Bapak Im.

Bapak Im menceritakan kembali apa yang udah diceritain sama Kia sebelumnya. Soal dirinya dan Jung Hoseok, dan apa yang terjadi antara mereka. Gue ngangguk paham, soalnya Kia juga enggak sengaja dan reflek bilang gitu.

"Bapak juga jadi minta maaf sama keluarganya Hoseok, karena ya gitu 'Kenapa kok udah ada calonnya gak bilang bilang?' gitu," jelas Bapak Im.

Gue paham. Yaiyalah, ujug-ujug bilang calon, udah pasti terkejut. Dikiranya pasti keluarganya Kia yang gak terbuka sama komunikasi.

"Sekarang Kia juga lagi merenungi kesalahannya, ya, Bapak yakin, Kia udah dewasa, udah bisa mikir mana yang bener dan yang salah," Lanjut Bapak, sambil tertawa kecil. Mungkin menertawai sikap anak tunggalnya yang kebangetan itu, yang bikin gue pengen ketawa aja.

"Iya, saya juga salah, jadi saya mohon maaf juga soalnya saya gak tau Kia tuh punya masalah apa, saya baru tau kemarin juga. Jadi pas itu, saya iya-iya aja," kata gue, berusaha untuk meminta maaf setulus hati karena gue juga salah, main iya-iyain pernyataannya Kia.

"Ya enggak apa-apa itu mah, kan Mas Yoongi gak tau, ya, wajar," kata Ibu Im, menyambung pembicaraan Bapak, "Cuma jadinya gitu, ya, gara-gara tau Kia punya 'calon', ya gak jadi," ucap Ibu.

Gue mengangguk paham, "Iya, Bu. Karena itu, saya juga ada hal yang ingin saya sampaikan,"

Ibu dan Bapak Im menatap gue serius. Gue sendiri juga sangat gugup, jantung gue berdetak cepat, bahkan gue menelan ludah gue sendiri. Gue mengambil nafas panjang untuk mengatur pernafasan gue, biar gak panik-panik banget.

Lo bisa, ayo. Bisa.

"Iya, gimana Mas?" Tanya Bapak.

Lo bisa.

"Saya mau serius sama Kia,"

Hening. Ya Tuhan, gue takut banget. Sekali-kali ini gue berasa kayak olahraga adrenalin, buat bilang pengen serius sama Kia aja udah kayak mau meletus kepala gue.

"Ibu gak salah denger, Mas?"

"Kamu, Mas? Serius?"

Gue ngangguk, "Iya. Saya emang baru ketemu sama Kia. Tapi dari pertama kali saya ketemu Kia, saya udah banyak berpikir, banyak berunding sama diri saya sendiri. Dia datang disaat saya mencari. Setelah sekian waktu berpikir, saya gak mau nunggu lama-lama juga. Saya mau nikah sama Kia,"

Bapak dan Ibu Im saling liat satu sama lain dalam keheningan. Iya, gue tau, pasti Bapak sama Ibu kaget banget. Gue datang tanpa aba-aba dan langsung ngelamar anaknya.

"B-bukan Bapak gak setuju, sih, tapi apa gak apa-apa? Maksudnya, Bapak sama Ibu, Kia, kita datang dari keluarga biasa aja," jelas Bapak.

Gue gak pernah kepikiran sampe situ. Latar belakangnya dia, material, atau apalah. Kita sama-sama manusia, miskin dan kaya enggak ada bedanya.

"Enggak, Pak. Saya enggak pernah melihat latar belakang keluarga Kia," kata gue tegas.

"Yaudah, gini," Ibu Im menengahi, "Ibu berterimakasih sama Mas Yoongi, karena bilang kalau Mas pengen hubungan yang lebih serius sama Kia. Tapi, seiring waktu berjalan aja ya, pelan-pelan aja," lanjut Ibu.

"Iya Bu, enggak masalah. Dan mungkin saya akan bawa Kia ke Jerman dalam waktu dekat, mau bagaimanapun saya ingin ngenalin Kia ke ayah saya,"

Bapak dan Ibu Im diam aja. Mungkin heran sama apa yang baru aja gue katakan, kalau gue niat serius sama Kia. Mungkin masih kaget juga, karena gue adalah orang baru. Tapi perlu mereka percaya kalau gue udah muter otak sampe pusing tujuh keliling buat bilang kalau gue serius.

Dan mau gak mau, gue harus bawa Kia ke ayah.

Dan bilang kalau gue udah menemukan apa yang gue cari selama ini.

.
.
.

"Yoongi,"

Saat gue duduk di teras rumahnya Kia, orangnya manggil gue dan duduk di samping gue. Dengan secangkir teh buatan Ibu, gue diem aja, dan menunggu apa yang ingin dikatakan sama Kia.

Gue gatau. Orang tuanya Kia itu kelihatan ragu tapi juga setuju. Gue belum berani menginterpretasi apa tanggapannya dari lamaran gue, yang jelas, gue harap diizinin deh.

"Ini.. gimana ya.. serius?" Tanyanya.

Gue ngangguk, "Iya, serius,"

"Maksudnya, kamu beneran—"

"Saya sayang sama kamu, Kia, dari awal ketemu. Itu tumbuh dengan sendirinya, jadi saya gak tau kenapa saya bisa sayang sama kamu," jelas gue.

Kia menghela nafas, "Akunya takut nyakitin kamu, aku—"

"Kalau kamu enggak mau, gapapa, Ya. Saya gak maksa, kamu bisa gunain waktu semau kamu buat berpikir kembali. Saya enggak mau maksa," kata gue.

"Bukan gitu, aku mau, kok. Aku juga suka sama kamu, kalau aku gak suka, aku gak mungkin reflek bilang kamu ini calon aku di depan Hoseok, 'kan?" lalu dia menatap gue, "Tapi aku takut ini terlalu cepat,"

Gue mengembangkan senyuman buat dia, "Kalau terlalu cepat, kita bisa jalan lambat," kata gue, "Kalau sulit, kita bisa belajar tentang satu sama lain,"

Kia akhirnya ikut senyum.

Gue tau, ini memang cepat. Setelah gue menghabiskan waktu, gue memantapkan hati kalau gue sayang sama Kia. Emang cinta itu rahasia dan juga jadi misteri. Bisa kapan aja datang dan menetap di hati orang.

Ada beberapa hal yang bikin gue yakin kalau Kia orangnya. Semua 'kebetulan' yang terlihat direncanakan ini, itu salah satunya. Rasa yang dateng sendiri tanpa gue sadari pun juga bikin gue makin percaya kalau memang Kia yang harus gue pilih.

Karena cuma dia yang nyembuhin gue dari patah hati.

Cuma dia yang bikin gue lupa dari masa lalu.

No, she's not someone like her. She's someone different and even a better for a person like me.

And i want her to fulfill my every single boring, lonely days.

.
.
.

BURU BURU BANGET PAKK HAHAHAHAHHAHAHAHAHHAHAHAHAHHA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BURU BURU BANGET PAKK HAHAHAHAHHAHAHAHAHHAHAHAHAHHA

Thank you, happy reading.
See u.

SERENDIPITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang